Jalan Panjang Murid Penghayat Kepercayaan Mendapat Hak Pendidikannya
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Meski negara telah mengakui hak penghayat kepercayaan dalam pendidikan, namun realita di lapangan tidak berbanding lurus. Tidak sedikit murid penghayat yang harus berjuang, dan penyuluh penghayat kepercayaan yang mesti meniti jalan berkelok untuk menunaikan tugas negara. Belum adanya aturan teknis membuat sistem di sekolah menjadi berbeda-beda.
Enam belas tahun yang lalu, Sinta mulai masuk salah satu sekolah dasar (SD) di Rembang, Jawa Tengah. Sinta masih ingat, pada awal tahun pelajaran, orang tuanya diminta menghadap ke sekolah. Musababnya, dia meminta pelajaran penghayat kepercayaan kepada sekolah.
Advertisement
Tapi pupuslah harapan Sinta karena pihak sekolah tidak mengabulkannya. Alasannya, belum ada payung hukum. Sinta dan orang tuanya pun tidak bisa berbuat banyak. Sinta adalah salah satu penghayat kepercayaan Palang Putih Nusantara (PPN) yang saat itu berada di Rembang. Karena itulah Sinta berharap mendapat pendidikan penghayat kepercayaan di sekolahnya.
Pengalaman serupa saat Sinta mengenyam pendidikan tidak berhenti di situ. Saat dia memasuki jenjang SMP pada 2014 di Rembang, Sinta masih berusaha untuk mengakses dan mendapat pelajaran penghayat kepercayaan. Hasilnya sama. Harapannya kembali pupus. Tidak ada pelajaran penghayat kepercayaan yang didapat. Pihak sekolah malah menegurnya karena memakai seragam lengan pendek dan tidak berjilbab.
“Kenapa seragamnya pendek?” kata Sinta, mengingat teguran guru sekolahnya.
Sinta lantas menjelaskan bahwa dia penghayat kepercayaan. Saat itu, bukan penerimaan yang Sinta dapatkan, gurunya malah menjelaskan bahwa sekolah mengharuskan muridnya untuk memakai seragam lengan panjang dan berjilbab. “Saya mentalnya kecil, enggak bisa ngapa-ngapain. Percuma juga ngejelasin, ibunya enggak mau mengerti,” kenangnya.
Dan selama tiga tahun ke depannya, dia mesti mengikuti kelas agama Islam. Keinginan Sinta untuk mendapatkan akses pendidikan penghayat tidak padam. Ikhtiarnya dilanjutkan saat mengenyam pendidikan di jenjang menengah atas di SMK Negeri 1 Kasihan Bantul, DIY, atau biasa juga disebut SMKI Jogja. Sinta pindah dari Jawa Tengah ke DIY.
Awalnya Sinta ragu saat mengisi form agama sebagai penghayat kepercayaan. Tapi keraguan itu menjadi sebuah titik cerah. Seorang guru mendatanginya, mengatakan belum bisa memberikan layanan penghayat kepercayaan dalam waktu dekat. Tapi sekolah akan mengusahakan, termasuk mencarikan penyuluh penghayat kepercayaan.
Harapan yang Sinta perjuangkan berbuah manis. Pada semester dua, sekolahnya menyediakan penyuluh penghayat. “Saya jadi murid angkatan pertama [di DIY] yang mendapat layanan penghayat,” katanya, senang.
Perjuangan panjang Sinta akhirnya membuahkan hasil. Meski masih belajar di perpustakaan dan bukan di kelas khusus, setidaknya dia sudah bisa mengakses haknya sebagai murid penghayat. Banyak teman-teman Sinta yang kemudian bertanya apa itu penghayat dan sebagainya. Pertanyaan yang kebanyakan karena penasaran.
Tidak hanya teman sesama murid, ada pula guru yang bertanya. Meski tidak semuanya pertanyaan dari guru cenderung bernada penasaran. Ada pertanyaan yang justru Sinta anggap sebagai cara memojokkan. Di suatu kelas Sejarah Indonesia, ada guru yang langsung bertanya pada Sinta.
“Agamamu apa? Siapa nabimu? Apa kitabmu? Karena saya tidak bisa menjawab, bisanya cuma nangis,” katanya. “Sesuatu yang enggak enak [berkaitan dengan perlakuan pada penghayat sudah saya rasakan] sejak kecil. Jadi waktu di SMKI enggak kaget banget. Tapi karena saya perempuan, kalau dibicarakan yang enggak-enggak tetep sakit hati, bisanya cuma nangis.”
Sinta tidak sendiri. Angkatan pertama sebagai penghayat di SMKI Jogja berjumlah tiga orang. Akses pendidikan penghayat kepercayaan memang baru terbuka sejak ada landasan hukum berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan.
Peraturan itu menyatakan pelajar penghayat kepercayaan berhak mendapat layanan pendidikan kepercayaan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Layanan pendidikan ini tentu salah satunya dengan adanya penyuluh untuk murid penghayat kepercayaan.
BACA JUGA: Bawaslu Menghormati Keputusan DKPP Soal Pelanggaran Etik KPU
Peraturan itu sebagai gelombang dampak dari pengakuan negara terhadap penghayat kepercayaan pada 2016. Sebelumnya, negara tidak mengakui penghayat kepercayaan secara administrasi. Cerita Sinta di SMKI baru satu contoh. Masih muda dan belum spesifiknya aturan membuat sistem di sekolah untuk penghayat kepercayaan berbeda-beda, dari sisi penerimaan murid, penyuluh, sampai pemberian fasilitas.
Penyuluh Penghayat Kepercayaan, Sebuah Kewajiban Negara
Menyediakan penyuluh penghayat kepercayaan di sekolah bagi murid penghayat adalah kewajiban sekolah. Murid penghayat seperti Sinta, berhak meminta dan menanyakannya kepada sekolah.
Kewajiban ini merupakan bentuk pengakuan negara kepada penghayat kepercayaan, melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada 2016, tentang pencantuman kepercayaan penghayat di adminduk. Menteri Pendidikan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan.
Meski ini kabar baik bagi demokrasi, namun belum semua pihak siap. Seperti penyediaan guru penghayat kepercayaan, tidak semua sekolah ada. Bahkan ada yang belum mengerti aturannya. Pun, guru resmi seperti lulusan Program Studi Penghayat Kepercayaan belum ada.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencoba mencarikan solusi dengan membuka kesempatan paguyuban penghayat mengirimkan anggotanya. Mereka akan mendapatkan materi dan seleksi menjadi penyuluh penghayat kepercayaan.
Ada dua tingkat sertifikasi penyuluh. Pertama tingkat terampil. Kedua tingkat ahli. Tingkat terampil baru bisa memberikan penyuluhan pada masyarakat. Sementara tingkat ahli sudah bisa mengajar di sekolah-sekolah. Di DIY, ada tiga penyuluh yang sudah bersertifikasi ahli. Mereka adalah Triani Yuliastuti, Sri Endang Sulistyowati, dan Suroso.
Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga (Disdikpora) Bantul, Isdarmoko, mengatakan murid penghayat kepercayaan yang ingin mendapatkan pendidikan penghayat kepercayaan bisa meminta penyuluh ke sekolah. Dari sekolah kemudian akan melapor ke Disdikpora. Kemudian dinas akan berkomunikasi dengan Majelis Luhur Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (MLKI) DIY.
“Di MKLI DIY ada beberapa penyuluh. Nanti akan kami siapkan, akan kami tugaskan penyuluh aliran kepercayaan, nanti untuk mengampu murid kepercayaan tersebut,” kata Isdarmoko, Kamis (28/12/2023).
Meski pada dasarnya alurnya sudah jelas, namun praktik di lapangan tidak semudah itu. Triani Yuliastuti menjadi penyuluh pertama di DIY yang masuk kategori ahli. Dia mendapat bimtek dan lulus pada 2017. Selama bimtek dan ujian, beberapa materinya tentang kemampuan merencanakan materi, kemampuan penyajian, penilaian sikap, sampai evaluasi. Untuk materi penghayat yang nantinya diajarkan seperti sejarah kepercayaan, budi pekerti, martabat spiritual, sampai larangan dan kewajiban.
Memasuki awal tahun 2018, Triani pertama kali mengampu kelas penghayat di SMKI Jogja. Muridnya Sinta dan kawan-kawannya itu. Lantaran ini kegiatan belajar mengajar (KBM) penghayat yang pertama di DIY, pihak sekolah masih meraba-raba secara teknis dan prosedurnya.
Sekolah sempat bingung tentang sistem dan lainnya. Justru orang tua murid penghayat yang menerangkan tentang sudah diakuinya penghayat. Sehingga sekolah perlu memberikan layanan. Triani menganggap kondisi ini bukan sebuah penolakan, namun lebih kepada kebingungan sekolah, yang baru pertama kali memberikan layanan pendidikan penghayat di DIY.
SMKI sempat bersurat ke Disdikpora DIY sebagai pemberitahuan, sebelum nantinya memulai KBM penghayat. Sayangnya, surat sempat dikembalikan beberapa kali untuk direvisi. “Surat sempat dikembalikan, ada alasan kesalahan, dikirim lagi, dikembalikan lagi, dengan alasan salah penulisan. Sekolah males [karena] salahnya sepele, akhirnya [sekolah merasa] enggak usah nunggu surat,” kata Triani, Selasa (2/1/2024). “Akhirnya memutuskan dijalankan aja, udah ada guru dan muridnya.”
Murid-murid awal Triani pada 2018 itu sudah lulus dan kuliah. Kini dia mengampu empat murid penghayat dari SMKI serta masing-masing satu anak di SMPN 2 Wates Kulonprogo dan SDN 1 Bendungan Wates Kulonprogo. Empat anak di SMKI berasal dari dua anak penghayat kepercayaan Palang Putih Nusantara (PPN) dan sisanya dari Sapta Dharma. Dua anak penghayat di SD dan SMP berasal dari Paguyuban Eklasing Budi Murko (PEBM). Sementara Triani merupakan penghayat Tri Soka.
Penyuluh bisa mengajar murid penghayat apapun, meski mereka tidak sama secara alirannya. Sudah ada kurikulum dari Kemendikbud yang bisa diterapkan ke semua penghayat kepercayaan. Meski kurikulumnya sama, ternyata tanggapan sekolah pada penghayat berbeda-beda.
Dengan segala dinamikanya di SMKI, Triani akhirnya bisa mengajar. Meski tidak sampai di situ, selama berada di SMKI, ada tanggapan rekan guru yang masih belum mau menerima. “Apa tho iku [penghayat], enggak jelas kok diiloni,” kata Triani, menirukan ungkapan guru tersebut.
Drama juga sempat terjadi saat Triani masuk ke SMPN 2 Wates. Dia merasa kepala sekolah secara pribadi belum bisa menerima adanya murid penghayat. Saat orang tua murid penghayat datang ke sekolah dan menjelaskan, sekolah langsung menolak.
Triani menganggap kepala sekolah bukan tidak mengerti, tapi lebih kepada tidak mau mencari tahu. Begitupun saat pertama kali Triani datang ke sekolah, sebelum memulai KBM. Saat dia ingin bertanya teknis pembelajaran dan segala macam, kepala sekolah masih merespon dengan sewot dan bernada tinggi.
Namun lantaran Disdikpora Kulonprogo sudah memberikan arahan untuk melayani murid penghayat, maka kepala SMPN 2 Wates harus menyediakan. Triani kemudian curhat tanggapan dari sekolah tersebut ke temannya yang bekerja di Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Kebetulan, saat itu LKiS sedang audiensi dengan Kemendikbud di Jakarta. Teman Triani dari LKiS kemudian langsung menyampaikan kendala itu ke Kemendikbud.
“[Saya] bukan ngadu, [tapi] mau nunjukin ke sekolah, bahwa betul kami dilindungi sampai di pusat, kalau ada teguran jadi tahu sekuat apa payung hukumnya,” kata Triani.
Setelah sempat berkomunikasi dengan pihak Kemendikbud, sepekan kemudian Triani mendapat telepon dari Disdikpora Kulonprogo. Orang di balik telepon terkesan panik dan ingin mengajak bertemu. Usut punya usut, Disdikpora mendapat teguran dari Kemendikbud. Bahkan teguran berupa kunjungan langsung dari pusat ke daerah.
Sejak saat itu, penerimaan dari SMPN 2 Wates berubah total. “Semua jadi baik banget. Dari buku yang sebelumnya dibilang terserah, sekolah enggak bisa membelikan, sekarang ditanya kebutuhannya apa aja akan dicarikan. Kelas yang awalnya mau ditempatkan di perpustakaan, setelah ada teguran disiapin kelas khusus,” katanya.
Manajer Program Yayasan LKiS, Tri Noviana, mengatakan saat mendapat cerita tentang penerimaan sekolah terhadap penyuluh tersebut, LKiS sedang advokasi tentang RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di Jakarta. Sehingga kesempatan itu mereka gunakan juga untuk advokasi di pusat terkait kasus itu.
Sepulang dari pertemuan dengan Kemendikbud dan Kantor Staf Presiden (KSP), LKiS mempertemukan berbagai pihak, termasuk dinas pendidikan kabupaten, kota, dan provinsi di DIY, sekolah-sekolah yang masih bermasalah, dan lainnya. “Permasalahan itu kemudian di-follow up oleh dinas pendidikan kabupaten, yang akhirnya perlakuannya menjadi baik,” kata Noviana, Jumat (2/2/2024).
Kepala SMPN 2 Wates Kulonprogo, Turismiyati, mengatakan sekolahnya tidak menolak atau mengabaikan penghayat yang ingin mendapatkan pendidikan sesuai kepercayaannya. Namun saat awal pengajuan pendidikan penghayat untuk satu murid tersebut pada 2023, sekolah belum memiliki guru atau penyuluh penghayat.
“Awal itu kami belum punya guru, mau gimana? Atau minta kemana? Saya enggak tahu mau minta ke mana. Secara otomatis saya bilang ke dinas, kami minta guru, [kemudian] dinas mencarikan,” kata Turismiyati, Selasa (6/2/2024).
Saat kemudian sudah ada penyuluh yang akan mengajar murid penghayat di SMPN 2 Wates, perlu adanya penyesuaian jam pelajaran murid dengan penyuluh. Murid dan guru agama atau penyuluh penghayat tidak bisa bebas memilih waktu untuk pelajaran agama atau penghayat kepercayaan, sudah ada jadwal khususnya. Sehingga perlu menyatukan waktu dari berbagai pihak tersebut.
“Murid itu dari pagi sampai sore ada jadwal, enggak bisa milih waktu bebas. Sebagai gambaran, pagi hari anak misal ada pelajaran IPA atau matematika, misal penyuluh datang pas pelajaran IPA atau matematika terus, anak hilang haknya ikut pelajaran itu,” katanya.
Sejauh ini, guru yang menyesuaikan jadwal dengan sekolah. Namun setelah ada koordinasi, sudah ada jadwal yang cocok untuk penyuluh, guru agama, dan juga sekolah. “Tujuan kami mendidik, mengajar, enggak ada yang istimewa, semua diperlakukan sama. Kami sediakan ruang kelas tersendiri untuk pembelajaran pendidikan selain agama Islam dan meja guru di ruang guru,” kata Turismiyati.
Siasat Penyuluh Penghayat di Sekolah
Di samping berupa teguran seperti contoh di atas, respon awal warga sekolah akan penghayat kepercayaan juga berubah saat Triani berkomunikasi, baik dengan sesama guru atau dengan murid lainnya. Guru yang sebelumnya seakan belum menerima keberadaan penghayat, setelah melihat dan juga bertanya pada Triani, lambat laun mulai memahami.
Keberadaan penyuluh seakan menjadi agen sosialisasi penghayat yang baru berumur sembilan tahun setelah diakui negara itu. Proses ini seakan babat alas untuk membuka jalur ke depannya. “Ternyata setelah sekian tahun, sosialisasi [tentang penghayat] tetap masih perlu, di lapangan masih banyak yang belum tahu, atau sudah tahu tapi belum menerima,” kata Triani, perempuan berusia 35 tahun ini.
Mungkin dengan mengajar di sekolah, secara tidak langsung penyuluh bisa sembari sosialisasi tentang penghayat. Namun Suroso punya pandangan lain. Suroso mendapatkan bimtek penyuluh penghayat kepercayaan kategori ahli sejak 2022. Saat ini dia mengajar tujuh murid dari lima sekolah: SDN Kendal Rongkop Gunungkidul, SDN 2 Trowono Gunungkidul, SMPN 1 Saptosari Gunungkidul, SDN Bogem Blora, dan SMK Pelita Japah Blora.
Berbeda dengan Triani yang datang ke sekolah masing-masing murid penghayat, Suroso dan orang tua murid sepakat untuk mengumpulkan anak dari kelima sekolah itu di Pendopo Wisnuwardana, Palang Putih Nusantara (PPN). Lokasinya di Suryodiningratan, Mantrijeron, Kota Jogja. Kebetulan semua anak yang Suroso ajar berasal dari Penghayat PPN. Setiap Sabtu sampai Minggu, mereka belajar tentang penghayat, dengan sistem bergantian sesuai kelasnya.
Dengan mengumpulkan anak di padepokan, Suroso merasa lebih bisa menjaga mental anak-anak didiknya. Sebagai minoritas secara kepercayaan di sekolah, maka KBM berpotensi tidak di kelas, namun ruang khusus seperti di perpustakaan, taman, atau lainnya. Suroso takut apabila pemandangan itu justru membuat si murid penghayat berkecil hati atau merasa terdiskriminasi.
Bukan tanpa alasan, Suroso melihat respon dinas maupun sekolah masih asing terhadap penghayat kepercayaan. Beberapanya menganggap penghayat kepercayaan sudah tidak ada sama sekali. Anaknya yang merupakan penghayat juga pernah menerima komentar apabila ‘penghayat itu tidak jelas’.
“Itu kan sakit, pulang-pulang dia nangis, ada ungkapan dari guru begitu tadi,” kata Suroso, Kamis (4/1/2024). “Intimidasi enggak harus dengan ancaman, dengan pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan bisa jadi itu bentuk intimidasi.”
Berbeda dengan luka fisik yang cenderung mudah untuk sembuh, Suroso menganggap luka psikis semacam intimidasi mental bisa membekas lebih lama. Sebagai jalan tengahnya, Suroso membawa anak-anak asuhnya di padepokan. Alhasil, para murid penghayat ini merelakan akhir pekannya untuk belajar di padepokan.
Tidak semata pembelajaran penghayat kepercayaan, Suroso juga memberikan pelatihan seni seperti membatik, karawitan, menari, sampai menulis aksara Jawa. Latihan pendukung sebagai cara Suroso membentuk karakter dan melatih kepercayaan diri muridnya. Dan yang paling penting dari berkumpul ini, “Mereka tahu apabila mereka tidak sendiri, ada teman sesama penghayat,” katanya.
Kepala SDN 2 Trowono, Supartini, mengatakan awalnya belum mengetahui informasi apabila di sekolahnya ada murid penghayat kepercayaan. Baru saat ada kunjungan dan pemberitahuan pada awal 2022, ternyata ada dua murid penghayat. Ketidaktahuan ini lantaran di data murid, agama keduanya tertulis Islam.
Informasi ini Supartini lanjutkan ke dinas pendidikan melalui koordinator wilayah (korwil). Pendidikan penghayat merupakan sesuatu yang baru, dan belum ada layanan khusus untuk itu. “Dari penyuluh minta pelayanan sesuai keyakinan anak tadi, setelah itu dapodik [murid] diubah [dari Islam menjadi penghayat],” kata Supartini, Selasa (6/2/2024). “Sekolah belum bisa berbuat apa-apa, selain memberi kebebasan pada kedua anak tersebut, pembelajarannya saya komunikasikan dengan penyuluh.”
Sesuai permintaan penyuluh, pembelajaran berlangsung di luar sekolah. Penyuluh mengumpulkan sesama murid penghayat di paguyuban. Senada, Kepala SMPN 1 Saptosari, Emy Indarti, mengatakan pembelajaran di luar sekolah sesuai permintaan penyuluh. Sulit untuk menyatukan waktu antara murid, sekolah, dan juga penyuluh. Apabila berlangsung di pendopo penghayat, murid bisa belajar dengan penghayat lainnya.
Apabila Suroso dan Triani perlu kerja ekstra saat awal-awal mengajar, penyuluh penghayat kepercayaan lain, Sri Endang Sulistyowati, cukup mulus jalannya. Sejak mengajar penghayat pada 2019, tidak ada kendala berarti secara penerimaan warga sekolah. Hubungan anak didik penghayatnya juga baik dengan sesama temannya. Endang kini mengajar di SMKN 6 Jogja dan SMPN 2 Pajangan Bantul.
Fasilitas Terbatas
Endang pertama kali menjadi penyuluh di SMK Karya Rini, Sleman. Kala itu, belum ada fasilitas buku dari sekolah. Buku memang tidak diperjualbelikan. Kemudian Kemendikbud memberikan buku, yang kemudian Endang pinjamkan pada muridnya. Buku pelajaran yang masih menggunakan milik Endang juga terjadi saat dia mengajar di SMPN 1 Jogja. Murid penghayat di kedua sekolah tersebut sudah lulus.
Berbeda cerita saat Endang menjadi penyuluh di SMK 6 Jogja. Kala itu buku sudah dijual secara umum. Sekolah membelikan buku dan meminjamkannya untuk proses pembelajaran. “Memang tergantung sekolah, ada yang enggak mau ribet [memfasilitasi buku, karena] muridnya cuma dikit. Kalau SMK 6 Jogja bagus, meski cuma satu murid, tetap dipesankan buku,” kata Endang, dari Penghayat Angesthi Sampurnaning Kautaman, Sabtu (6/1/2024).
Beda sekolah beda fasilitas juga Triani rasakan sebagai penyuluh penghayat. Di SMKI dia mendapat buku yang sebelumnya berasal dari Kemendikbud. Dahulu dia memang mengajukan pada SMKI untuk membelikan buku penghayat tersebut.
Sementara di SDN 1 Bendungan Wates dan SMPN 2 Wates, Triani masih menggunakan buku berupa soft file. Meski Triani sudah mengajukan buku pada sekolah, namun sejauh ini belum ada pengadaan. Menurut Triani, pembelian buku bisa menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Tapi belum dibelikan juga. Kalau yang kurikulum 2013 dulu, saya bisa minta gratis dari direktorat (Kemendikbud). Tapi yang kurikulum merdeka sekarang, bukunya berbayar semua. Jadi enggak bisa minta gratis lagi,” kata Triani.
Kepala SDN 1 Bendungan Wates, Suprapti, mengatakan sekolah belum mengetahui materi pendidikan penghayat yang akan menjadi bahan ajar. Suprapti mengatakan bahwa sekolah meminta Triani terlebih dahulu mencari buku yang sesuai dengan kebutuhannya. “Dan akan diganti sekolah uangnya,” katanya, Jumat (26/1/2024).
Kepala SMPN 2 Wates Kulonprogo, Turismiyati, mengatakan belum membelikan buku penghayat. “Saat ini masih menggunakan [buku] dari penyuluh, penyuluh belum menyampaikan jenis bukunya apa,” katanya.
Dalam fasilitas buku, Suroso menganggap ada kemunduran dalam kurikulum Merdeka Belajar. Murid dan penyuluh penghayat harus membeli sendiri buku ajarnya. Harganya antara Rp50.000 hingga Rp100.000. Apabila Suroso harus membeli buku untuk masing-masing murid dan tingkat kelasnya, maka harganya cukup mahal.
Sejauh ini Suroso menggunakan buku pdf untuk bahan pembelajaran. Dia juga membuat materi tersendiri. Dia tidak mendapat buku dari sekolah. “Saya rembugan dengan orang tua murid penghayat, kalau saya ngajarnya pakai buku pdf di laptop,” kata laki-laki berusia 53 tahun ini.
Kepala SDN 2 Trowono, Supartini, mengatakan apabila penyuluh sudah memiliki materi dan sekolah bisa terima nilai jadi. Penyuluh juga tidak meminta buku. Sementara Kepala SMPN 1 Saptosari, Emy Indarti, mengatakan untuk fasilitas buku, sekolah sudah mencari di sistem informasi pengadaan sekolah (SIPLah), namun belum menemukan buku penghayat. Pihak sekolah sudah bertanya pada penyuluh jenis buku yang dibutuhkan.
“Kalau bukunya ada, kami siap untuk mengganti biaya pembelian buku. Tapi penyuluh belum memberikan informasi, sementara masih menggunakan modul (materi dari penyuluh),” katanya.
Minimnya Penghargaan
Suroso memilih menggunakan buku dalam bentuk soft file agar biaya pembelajaran bisa ditekan. Meski statusnya penyuluh resmi, tidak semua sekolah memberikan insentif pada penyuluh penghayat. Sejak resmi menjadi penyuluh melalui bimtek kategori ahli, penyuluh akan mendapatkan Rp300.000 dari Kemendikbud.
Sementara dari sekolah, ada yang kemudian memberi insentif, ada yang tidak. Dari lima sekolah yang Suroso ampu, hanya satu sekolah yang memberikan insentif, yaitu SMPN 1 Saptosari. Terakhir, dia mendapatkan sekitar Rp100.000 per bulan. Bahkan kadang dia hanya mendapat Rp80.000.
Insentif ini pula yang menjadi pertimbangan Suroso mengumpulkan murid-murid penghayat di padepokan. Apabila dia mengajar di sekolah satu per satu, maka biaya operasional bisa tinggi. Belum lagi jarak satu sekolah dengan lainnya bisa puluhan kilometer.
“Ini bener-bener relawan. Misal [datang ke sekolah untuk mengajar,] operasional seperti itu anak istri saya mati mas, berantakan keluarga kami,” kata Suroso. “Untung anak dapet KIP (Kartu Indonesia Pintar) kuliah. Istri juga kerja sedapetnya.”
Kepala SMPN 1 Saptosari, Emy Indarti, mengatakan insentif sebesar Rp105.000 berasal dari dana komite sekolah. Jumlahnya berdasarkan jumlah jam pelajaran. Satu jam pelajaran, insentifnya sebesar Rp35.000. Penyuluh mengajar selama tiga jam pelajaran.
“Kemampuan sekolah Rp35.000 per jam. Itu kami juga menyesuaikan dengan sekolah lain yang sejajar, ada sekolah yang kurang dari itu. [Nominal itu] saya anggap sudah bagus, [meski] sebenarnya ingin menaikkan tapi dana belum ada.”
Kepala SDN 2 Trowono, Supartini, mengatakan belum ada alokasi anggaran di SDN 2 Trowono untuk insentif penyuluh. “Belum ada anggaran untuk itu, dan belum ada pemberitahuan dari atasan kami untuk tindakan seperti itu (pemberian insentif),” katanya. “Insentif dari BOS ada aturannya, seperti [penyuluh perlu punya] NUPTK, Dapodik, dan lainnya. Menunggu instruksi gimana. Misal mau memberikan insentif, penyuluh enggak pernah ke sekolah, pembelajarannya di luar sekolah.”
Kepala Dinas Pendidikan Gunungkidul, Nunuk Setyowati, mengatakan insentif penyuluh tergantung kemampuan pendanaan sekolah, terutama dana komitenya. Lantaran penyuluh penghayat belum masuk ke Dapodik dan belum punya nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK), sehingga belum bisa didanai dari Dana BOS.
“Lalu apabila membutuhkan buku untuk kegiatan belajar mengajar, bisa dibelikan melalui Dana BOS, asalkan bukunya sesuai dengan kriteria Juknis BOS,” katanya.
Misalpun sekolah memberikan insentif untuk penyuluh, tidak semuanya langsung dari tahun pertama mengajar. Endang baru mendapat insentif di SMPN 2 Pajangan pada tahun kedua mengajar. Di SMPN 2 Pajangan, dia mendapat insentif Rp750.000 per semester atau enam bulan. Sementara di SMKN 6 Jogja, dia mendapatkan Rp150.000 per bulan. Endang juga mendapatkan insentif dari Kemendikbud Rp300.000.
Wakil Kepala Sekolah 1 Bidang Kurikulum SMKN 6 Jogja, Widuri Indah Dwi Jayanti, mengatakan insentif penyuluh penghayat berasal dari dana komite sekolah. Insentif tidak bisa menggunakan dana BOS, karena penyuluh harus memiliki NUPTK sebagai salah satu syaratnya. Sehingga sumber dana seperti guru tidak tetap, diambil dari dana komite sekolah.
“Untuk besaran insentif ini disesuaikan dengan kemampuan komite sekolah. Dikarenakan satu jam pelajaran dihitung Rp50.000, mapel penghayat ini sebanyak tiga jam pelajaran, maka insentif yang diterima Rp150.000,” kata Widuri, Senin (5/2/2024). “Buku penghayat disediakan sesuai dengan buku kurikulum merdeka yang dikeluarkan oleh pemerintah.”
Endang mengatakan apabila penyuluh hanya mengajar di satu sekolah, insentif ini tentu akan kurang. “Kalau mengampu dua sekolah ya bisa dikumpulkan, meski operasionalnya juga lumayan. Sekali jalan ke SMPN 2 Pajangan aja 25 kilometer, bolak-balik 50 kilometer. Itu buat bensin, makan, dan lainnya. Fisiknya saya mengajar seperti tidak dihargai,” kata Endang.
Kurang cukupnya insentif sebagai penyuluh juga harus Triani tambal dengan membuka usaha. Justru usaha penjualan es jagung yang menjadi penopang utama keuangannya. Pada dasarnya, jumlah insentif tergantung banyak murid, kelas, dan jam mengajar penyuluh. Dari tiga sekolah SMKI, SMPN 2 Wates, dan SDN 1 Bendungan Wates, baru SMKI dan SMPN 2 Wates yang memberikan insentif. SDN 1 Bendungan Wates belum memberikan insentif.
Dari SMKI, Triani saat ini mendapat sekitar Rp400.000 per bulan, yang sumbernya dari komite sekolah. Sementara dari SMPN 2 Wates dia mendapatkan Rp250.000 per bulan. Dan kabarnya akan ada kenaikan menjadi Rp300.000. Dari SMPN 2 Wates, sumber dana melalui dana BOS daerah (BOSDA). Insentif ini pun ada yang tidak dia dapat sejak awal mengajar. Khusus untuk yang SMPN 2 Wates, sebelum ada teguran dari Kemendikbud, ada indikasi sekolah tidak akan memberikan insentif.
“Awalnya sebelum ditegur, sekolah bilang ‘enggak harus bayar njenengan kan, enggak ada dana di sekolah’. Kenapa harus dikeluarkan kata seperti itu, bikin ngelus dada,” kata Triani. “Engak bisa [kalau cuma ngandelin insentif penyuluh], ini aja nerima agak banyak baru-baru ini, dulu sempet enggak ada penerimaan sama sekali.”
Kepala SDN 1 Bendungan Wates, Suprapti, mengatakan sekolahnya belum bisa memberikan insentif kepada penyuluh penghayat untuk semester satu tahun pelajaran 2023/2024. Hal itu lantaran yang bersangkutan belum memenuhi syarat dalam petunjuk teknis penggunaan dana BOS.
Merujuk pada Permendikbud Nomor 63 tahun 2023, pasal 40 poin 3, guru yang mendapatkan honor perlu memenuhi persyaratan seperti a) bukan berstatus aparatur sipil negara, b) tercatat pada Dapodik, c) memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan, dan d) belum mendapatkan tunjangan profesi guru. Menurut Suprapti, penyuluh tidak memenuhi syarat pada poin b dan c. Sebagai informasi, Triani terdata dalam Dapodik SMKI.
Sekolah mendapatkan informasi dari Disdikpora Kulonprogo apabila insentif untuk penyuluh bisa menggunakan Penyediaan Biaya Pendidikan Sekolah Dasar (PBP SD) kegiatan ekstrakurikuler keagamaan. PBP SD semacam dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) di Kulonprogo. Untuk bisa mengakses pendanaan tersebut, perlu ada nota kesepemahaman dari yayasan penghayat yang menaungi penyuluh, jadwal kegiatan, materi pelajaran, foto kegiatan setiap tatap muka, dan lainnya.
“Jumlah jam tatap muka harus dipenuhi. Sekolah akan menindaklanjuti informasi tersebut pada semester dua tahun pelajaran 2023/2024 asalkan Bu Triani bersedia memenuhi persyaratannya,” kata Suprapti, Jumat (26/1/2024).
Belum Adanya Aturan yang Jelas
Kepala Disdikpora Kulonprogo, Arif Prastowo, mengatakan sejauh ini belum ada anggaran khusus untuk penyuluh penghayat kepercayaan. Satuan pendidikan bisa mengalokasikan anggaran untuk keperluan tersebut melalui dana BOS.
“Kami akan mengarahkan satuan pendidikan tersebut untuk mengalokasikan anggaran untuk keperluan tersebut,” kata Arif.
Sejauh ini belum ada peraturan teknis atau tertulis terkait insentif, fasilitas buku, dan lainnya dari dinas. “Cukup melalui koordinasi, karena juknis penggunaan dana BOS sudah sangat jelas. Tinggal perlu penekanan dan penegasan saja,” katanya.
Meski belum tentu bisa mencukupi segala kebutuhan, selama tiga bulan terakhir atau dari Oktober sampai Desember 2023, para penyuluh di DIY yang kategori ahli mendapatkan insentif tambahan dari Dinas Kebudayaan DIY. Insentif sebanyak Rp1,5 juta per bulan ini berasal dari dana keistimewaan. Syaratnya, penyuluh minimal mengampu dua sekolah.
Yayasan LKiS menganggap kesejahteraan penyuluh penghayat kepercayaan di DIY perlu semakin diperbaiki ke depannya. Manajer Program Yayasan LKiS, Tri Noviana, mengatakan di samping kesejahteraan, pemerintah dan sekolah juga perlu mengakomodir penghayat dalam NUPTK. Proses akses layanan pendidikan untuk penghayat juga harus terus diakomodir secara baik tanpa diskriminasi.
Di samping itu, perlu ada ruang koordinasi bersama antara penyuluh, MLKI, sekolah, dan dinas pendidikan untuk memberikan layanan pendidikan kepercayaan, yang tidak hanya merespon kasus ataupun pelayanan, tetapi koordinasi ini bisa secara terus-menerus. “Seringkali sekolah-sekolah baru yang menerima penghayat tidak diperlakukan secara baik, maka perlu ada sosialisasi atau surat edaran dari dinas pendidikan ke sekolah-sekolah supaya diakomodir secara baik,” katanya.
Surat edaran serta peraturan teknis bisa menjadi acuan sekolah memberikan fasilitas pada penyuluh penghayat kepercayaan. Sejauh ini peraturan pendidikan, termasuk produk dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di DIY baru pada tataran umum. Belum spesifik mengatur pendidikan penghayat kepercayaan.
Misalnya di Kota Jogja, tahun kemarin ada perubahan Perda Nomor 8 Tahun 2023 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Menurut Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Jogja, Krisnadi Setyawan, meski peraturannya umum, namun di dalamnya mencakup penghayat kepercayaan. Poin utamanya penekanan bahwa pemerintah wajib memfasilitasi pendidikan penghayat kepercayaan.
“Teknisnya dengan dinas pendidikan, perda [isinya] masih umum, turunannya di peraturan walikota, termasuk pendidikan untuk penghayat kepercayaan, termasuk muatan lokal, teknisnya di peraturan walikota, dan ranahnya eksekutif,” kata Krisnadi, Selasa (30/1/2024).
Begitupun di Kulonprogo. Ketua Komisi D atau Komisi 4 DPRD Kulonprogo, Muhtarom Asrori, mengatakan ada 2022 DPRD membuat perda inisiatif tentang pendidikan karakter. Dengan perda itu, nuansa ke-Jogja-an, termasuk di dalamnya penghayat kepercayaan memiliki ruang, termasuk akses untuk mendapatkan pendanaan.
“Ketika [perda] disahkan [akan] berdampak pada anggaran, anggaran itu termasuk di dalamnya menyiapkan kurikulum dan buku-bukunya [untuk proses pembelajaran pendidikan secara umum maupun penghayat kepercayaan],” katanya, Sabtu (20/1/2024).
“Perda enggak spesifik [penghayat kepercayaan], kami menelurkan kebijakan secara umum, teknisnya dari dinas itu sendiri. Kenapa perlu ada perubahan perda pendidikan karakter? Karena DIY ada danais, harapannya pendanaannya bisa dikolaborasikan dengan danais.”
Sementara di Gunungkidul, menurut Ketua Komisi D DPRD Gunungkidul, Supriyadi, penghayat kepercayaan belum masuk dalam perda. Meski begitu, Supriyadi yang juga mencalonkan lagi menjadi anggota DPRD Gunungkidul pada Pemilu 2024, membuka kemungkinan apabila penghayat kepercayaan perlu masuk dalam perda.
“Kami lihat sikonnya, ketika hal itu perlu dibingkai dengan sebuah aturan, saya kira juga lebih baik. Dalam UUD juga sudah tercantum, kalau tidak salah pasal 28,” kata caleg dari dari Partai Amanat Nasional ini, Sabtu (20/1/2024).
Senada dengan Supriyadi, Asrori yang merupakan caleg dari Partai Amanat Nasional juga membuka ruang diskusi dengan para penghayat. Dari diskusi itu, bisa saling tahu dan mengerti kebutuhan para penghayat. “Nanti akan kami perjuangkan. Selama ini belum [ada komunikasi], ini perlu didiskusikan dengan pihak-pihak terkait, nanti kami perjuangkan, jangan sampai membuat peraturan tidak sesuai dengan kebutuhan teman-teman penghayat,” katanya.
Sementara di Kota Jogja, Krisnadi yang juga nyaleg lagi, apabila terpilih ke depannya akan fokus pada masalah pembiayaan sekolah lanjutan tingkat atas yang kadang masih perlu bantuan pendanaan. Tidak spesifik untuk penghayat, namun mereka bisa masuk ke dalamnya. “Itu termasuk fasilitas pendidikan penghayat dan agama, harus siapkan ruangan khusus, untuk masing-masing agama, karena secara jumlah biasanya dikit, kepercayaan enggak banyak, mungkin satu sekolah cuma satu murid, [tapi] tetap harus dibiayai pendidikan dan fasilitasnya,” kata caleg dari Partai Gerindra itu.
Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, Samsul Maarif, mengatakan belum ada kebijakan yang solid dan mengikat menjadi cerminan ketidaksiapan dinas pendidikan di tingkat provinsi serta kabupaten dan kota. “Dari sisi kebijakan, Permendikbud [Nomor 27 Tahun 2016] itu belum kuat. Terlihat semangat pemerintah untuk memenuhi hak para penghayat, tetapi ada banyak hal yang tidak bisa terakomodasi jika dasarnya hanya Permendikbud,” katanya.
Samsul beranggapan seharusnya kebijakan yang dikeluarkan sama dengan pemberian layanan pendidikan agama resmi yang diatur UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Kedua peraturan itu tegas mewajibkan pelaksana pendidikan atau dinas Pendidikan di Indonesia untuk melayani pendidikan agama.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 mengatur dengan jelas dan detail segala perangkat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Mulai dari ketersediaan ruang belajar khusus, tenaga pendidik, hingga insentif tenaga pendidik. Sementara keberadaan Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan tidak memiliki kekuatan mengikat seperti dua aturan di atas.
Kondisi ini menyebabkan dinas pendidikan di daerah hingga sekolah tidak siap memberikan layanan pendidikan kepercayaan. “Layanan pendidikan kepercayaan yang sudah terlaksana hampir pasti karena penghayat proaktif. Padahal harusnya sekolah yang siap duluan memberikan layanan itu,” kata Samsul.
Menuju Jalan yang Lebih Baik
Sudah sejak 2015 Yayasan LKiS mendampingi penghayat kepercayaan di DIY. Pendampingan pada penghayat menargetkan tiga sektor berupa kebijakan, penerimaan sosial, dan akses layanan publik. Dalam konteks pendidikan, Noviana menganggap sistem pendidikan penghayat di DIY semakin membaik. Sekolah dan dinas pendidikan semakin memahami terkait pemenuhan hak penghayat.
Dari sisi penyuluh penghayat kepercayaan, secara garis besar, Triani dan Endang memandang pendidikan penghayat di DIY juga semakin membaik. Meski tentunya tetap perlu perbaikan lagi ke depannya. Namun misal dibandingkan dengan daerah lain, progres di DIY sudah cukup maju.
“Penyuluh yang dulu sempat ada hambatan, sekarang sudah lancar,” kata Endang.
“Dari dinas penerimaannya udah bagus, dari sekolah masih perlu sosialisasi terus dan terus. Banyak yang masih belum tahu. Internal penghayat juga masih butuh motivasi dan dorongan, masih banyak yang takut keluar atau menunjukkan [identitasnya]. Masih ada trauma,” kata Triani.
Tentang trauma para penghayat atas adanya diskriminasi masa lalu, Suroso pernah menyurvei kecil-kecilan di paguyubannya. Dia mengajukan beberapa pertanyaan, yang kesimpulannya menunjukkan masih adanya trauma masa lalu. Trauma ini terutama untuk orang-orang yang umurnya senior, yang kini memiliki para anak penghayat.
Suroso mengatakan bahwa di era akhir Orde Baru menjadi puncak perlakuan tidak baik pada penghayat. Orang tua penghayat takut apabila trauma ini turun ke anaknya, apabila memperlihatkan identitas penghayat di sekolah ataupun di masyarakat.
Bagi yang sudah mau belajar mengobati trauma dan mulai ingin mengurus perpindahan identitas, Suroso mencoba membersamai. Termasuk yang ingin mengakses pelayanan pendidikan penghayat di sekolah. Suroso berprinsip, tidak perlu semua orang tua serentak meminta pelayanan pendidikan penghayat di sekolah. Lebih penting orang tua dan anak sama-sama siap dulu untuk menunjukkan identitas penghayatnya.
Bagi Suroso, yang penting jumlah murid penghayat bisa meningkat setiap tahunnya. “Dari tujuh murid saat ini, semakin berdampak pada orang tua yang belum berani, ke arah penasaran [dengan pendidikan penghayat]. Mudah-mudahan di tahun ajaran baru, saya punya target, tahun pertama empat anak, tahun kedua tujuh, saya pastikan tahun berikutnya nambah dua lagi. Harapannya muncul anak-anak yang berani keluar dari zona nyaman dan menampakkan sikap,” kata Suroso yang merupakan Wakil Ketua Paguyuban PPN.
Terlebih saat ini dengan segala evaluasinya, pendidikan untuk penghayat cenderung melaju ke arah yang lebih positif. Model pembelajaran bersama di padepokan juga Suroso anggap berhasil menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak didiknya. Dengan berbekal keahlian seni, anak-anak tersebut beberapa kali tampil di acara-acara sekolah.
Dengan semakin banyak yang menunjukkan identitasnya, maka keragaman di Indonesia akan semakin indah. Suroso punya keinginan akan adanya masa-masa yang setara dalam dunia pendidikan, termasuk untuk penghayat.
“Semoga nanti setiap PPDB (penerimaan peserta didik baru), pihak sekolah cek data orang tua, banyak orang tua yang penghayat, tetapi panitia masa bodoh, justru anak penghayat malah diwajibkan ikut pendidikan agama. Penghayat harusnya ada sendiri, sekolah perlu proaktif sarankan pada anak untuk mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan keyakinannya,” kata Suroso.
Para Penyuluh Masa Depan
Tidak hanya murid penghayat yang akan bertambah seperti harapan Suroso, penyuluh penghayat juga akan bertambah. Apabila Suroso, Endang, dan Triani merupakan penyuluh dari bimtek Kemendikbud, akan ada para penyuluh yang merupakan lulusan Program Studi (Prodi) Penghayat Kepercayaan.
Sejak 2021, Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang membuka Prodi Penghayat Kepercayaan. Sejauh ini, baru UNTAG yang membuka jurusan tersebut di Indonesia. Belum ada lulusan dari Prodi Penghayat Kepercayaan. Salah satu mahasiswa Prodi Penghayat Kepercayaan, Jekson Djawa Kori, perlu datang jauh dari Sumba Timur ke Semarang.
Penghayat kepercayaan Marapu itu mendapat beasiswa pendidikan dari pemerintah. Sebelum sampai di Semarang, dia hampir gagal seleksi beasiswa. Kendala utamanya berupa jaringan internet di Sumba Timur yang belum merata. Sehingga Jekson seringkali telat mendapat informasi tentang beasiswa.
“Dulu waktu SMA, aku berkeyakinan penghayat, namun tidak mendapat pelajaran tersebut. Melihat dari situasi itu, dan ada peluang [beasiswa], jadi masuk kuliah ini. Supaya penghayat dan generasi penerus bisa dapat pelajaran sesuai keyakinan penghayatnya di sekolah,” kata laki-laki berusia 20 tahun ini, Jumat (29/12/2023).
Melalui kuliah ini, Jekson bisa bertemu teman-teman dari penghayat kepercayaan lain. Ada beberapa sesi di kelas, yang mereka saling mengenalkan penghayat kepercayaannya masing-masing. Seangkatan terdiri dari 39 orang, dengan dibagi menjadi dua kelas. Beberapa jenis mata kuliahnya seperti pengelolaan kelas, antropologi, bahasa Inggris, sosiologi pendidikan, pedoman pendidikan kepercayaan, spiritualitas, hingga etika dalam kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa.
“Ada pelajaran yang untuk menyiapkan [kami] untuk jadi guru, kedua untuk menumbuhkan toleransi,” kata Jekson di Semarang.
Meski terdiri dari berbagai jenis penghayat dan paguyuban, tidak ada pengkotakan satu sama lain. Justru mereka bisa saling bertukar pikiran. Jekson dan teman-temannya sadar, penghayat kepercayaan baru diakui negara, sehingga mereka perlu bersatu dan saling menguatkan.
“Kalau tidak bersatu, maka kepercayaan ini akan pecah. Kami generasi yang dapat meneruskan penghayat tersebut,” katanya.
Jeskon kini sudah semester empat. Angkatan paling tua sudah semester enam. Setidaknya setahun lagi sudah ada lulusan dengan gelar resmi penyuluh penghayat. Setelah nantinya lulus, Jekson akan mengabdi pada negara selama satu atau dua tahun. Lantaran dia penerima beasiswa, akan ada penempatan untuk mengajar setelah lulus.
Apabila pengabdian sudah selesai, Jekson akan kembali ke Sumba, tanah kelahiran dan juga tempat yang membesarkannya. “Pengen mengajar [pendidikan penghayat] di Sumba,” kata Jekson.
Keinginan ini sudah bulat. Meski kadang terdengar rumor gaji guru yang kurang layak, terlebih untuk kondisi penyuluh penghayat seperti di atas. Jekson tidak mempermasalahkan itu. “Seberapa pun gajinya tetap akan mau jadi penyuluh, karena ingin membangkitkan kepercayaan nusantara ini. Kalau saya sendiri selalu siap, intinya kepercayaan ini dapat bertahan dan jangan sampai punah,” kata Jekson.
Kata Para Anggota Dewan
Kami menanyakan pada beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di DIY untuk melihat gambaran ada tidaknya peraturan yang membahas pendidikan penghayat. Kami mewawancarai anggota DPRD Komisi D, yang membidangi pendidikan. Anggota ini yang juga menjadi calon legislatif lagi di tahun 2024.
Supriyadi
(Ketua Komisi D DPRD Gunungkidul dan Calon Legislatif dari Partai Amanat Nasional)
Wawancara pada 20 Januari 2024.
Apakah ada produk aturan tentang pendidikan, khususnya pendidikan penghayat, selama periode DPRD Gunungkidul 2019-2024?
Terkait perda (peraturan daerah) pendidikan sudah ada, namun terkait pendidikan penghayat belum dimasukkan dalam pasal perda.
Apabila anda terpilih lagi, apakah ada rencana mengusulkan aturan tentang pendidikan penghayat?
Kita lihat sikonnya, ketika hal itu perlu dibingkai dengan sebuah aturan, saya kira juga lebih baik. Dalam UUD juga sudah tercantum, kalau tidak salah pasal 28.
Muhtarom Asrori
(Ketua Komisi D atau Komisi 4 DPRD Kulonprogo dan Calon Legislatif dari Partai Amanat Nasional)
Wawancara pada 20 Januari 2024.
Apakah ada produk aturan tentang pendidikan, khususnya pendidikan penghayat, selama periode DPRD Kulonprogo 2019-2024?
Kalau secara umum, kami sudah membuat perda inisiatif tentang pendidikan karakter. Dengan perda itu harapannya, salah satunya nuansa Jogja-nya bisa kelihatan, bisa diajarkan, salah satunya itu (penghayat kepercayaan), otomatis [bisa] dengan perda itu. Ketika [perda] disahkan [akan] berdampak pada anggaran, anggaran itu termasuk di dalamnya menyiapkan kurikulum dan buku-bukunya [untuk proses pembelajaran pendidikan secara umum maupun penghayat kepercayaan].
Perda itu merupakan perubahan dari 2015 menjadi 2022, perda tentang pendidikan karakter. Enggak spesifik [penghayat kepercayaan], kami menelurkan kebijakan secara umum, teknisnya dari dinas itu sendiri. Kenapa perlu ada perubahan perda pendidikan karakter? Karena DIY ada danais, harapannya pendanaannya bisa dikolaborasikan dengan danais.
Apa perubahan yang paling signifikan?
Ada cantolan pendanaan, bisa meraih ke danais, tergantung nanti dari dinas pendidikan bagaimana membuat proposal terkait dengan dana itu.
Apabila anda terpilih, apakah ada rencana mengusulkan aturan tentang pendidikan, termasuk pendidikan penghayat kepercayaan?
Masih banyak pekerjaan rumah yang berkaitan dengan pendidikan. Walaupun dalam aturan tidak ada sekolah favorit, ternyata itu masih ada. Memang siswanya sudah pandai sehingga guru tinggal mengarahkan. Ini agar kesenjangan atas dan bawah tidak terlalu jauh, khususnya dari sisi fasilitas.
Juga jangan anak tirikan sekolah swasta, termasuk guru swasta ketika diangkat P3K, dikembalikan ke sekolah swasta tersebut, ke sekolah asal. Sekarang kan enggak. Kalau sudah diangkat P3K, ditaruh di sekolah negeri, swasta nyari guru lagi.
Yang spesifik untuk pendidikan penghayat kepercayaan?
Nanti tentang penghayat, kami membuka ruang untuk bisa diskusi, apa tho yang diinginkan, kebutuhannya apa, tanya ke pihak yang memang berkepentingan, nanti akan kami perjuangkan. Selama ini belum [ada komunikasi], ini perlu didiskusikan dengan pihak-pihak terkait, nanti kami perjuangkan, jangan sampai membuat peraturan tidak sesuai dengan kebutuhan teman-teman penghayat.
Krisnadi Setyawan
(Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Jogja dan Calon Legislatif dari Partai Gerindra)
Wawancara pada 30 Januari 2024
Apakah ada produk aturan tentang pendidikan, khususnya pendidikan penghayat, selama periode DPRD Kota Jogja 2019-2024?
Kalau kemarin ada perubahan Perda Nomor 8 Tahun 2023 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, sudah masuk, pemerintah harus memfasilitasi penganut penghayat kepercayaan. Di tahun 2023, udah selesai pembahasan dan pengesahan. Poinnya terutama kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi pendidikan penghayat kepercayaan.
Teknisnya dengan dinas pendidikan, perda [isinya] masih umum, turunannya di peraturan walikota, termasuk pendidikan untuk penghayat kepercayaan, termasuk muatan lokal, teknisnya di peraturan walikota, dan ranahnya eksekutif.
Apabila anda terpilih, apakah ada rencana mengusulkan aturan tentang pendidikan, termasuk pendidikan penghayat kepercayaan?
Kaitannya pendidikan, tentunya yang jadi persoalan tentang biaya, terutama SMA dan SMK Negeri, yang masuk kewenangan provinsi, ada polemik iuran SMA Negeri enggak bisa di-cover dari APBD Kota Jogja, itu termasuk biaya pendidikan muatan lokal dan penghayat.
Pekerjaan rumah di Kota Jogja, APBD baru bisa mengampu [biaya] sampai tingkat SMP, kalau sampai SMA ada iuran enggak tertanggung orang tua, maka minta bantuan ke pemerintah kota, karena termasuk warga kota [meski kewenangan SLTA ada di provinsi]. Kita bisa bantu SMA Swasta tapi SMA Negeri malah enggak bisa bantu.
Ada namanya jaminan pendidikan daerah, hanya bisa untuk swasta, termasuk sekolah agama, sedangkan sekolah negeri enggak ada biaya tambahan, masalahnya sering ada iuran di luar pembiayaan pemerintah.
Itu termasuk fasilitas pendidikan penghayat dan agama, harus siapkan ruangan khusus, untuk masing-masing agama, karena secara jumlah biasanya dikit, kepercayaan enggak banyak, mungkin satu sekolah cuma satu murid, [tapi] tetap harus dibiayai pendidikan dan fasilitasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Menteri Lingkungan Hidup Minta Semua Pemda Tuntaskan Roadmap Penanganan Sampah
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Ichlinks Video Competition, Lestarikan Warisan Budaya Tak Benda melalui Kompetisi Video
- Siap-siap! Warga Sleman, Bantul dan Kulonprogo, Ada Pemadaman Listrik Hari Ini, Sabtu 23 November 2024, Cek Lokasinya di Sini
- Kampenye Akbar Heroe-Pena Libatkan Ribuan Warga
- Jalur dan Rute Trans Jogja ke Sejumlah Destinasi Wisata di Jogja dan Sekitarnya
- Produksi Benih Ikan Sleman Tembus 1,4 Miliar Anakan
Advertisement
Advertisement