Advertisement

Mengenang Perjuangan Rakyat Sangasanga

Newswire
Minggu, 10 Agustus 2025 - 14:17 WIB
Sunartono
Mengenang Perjuangan Rakyat Sangasanga Museum Perjuangan Merah Putih. - Antara.

Advertisement

Harianjogja.com, KUTAI—Langit cerah di atas Sungai Mahakam memantul biru saat kendaraan yang melaju meninggalkan Kota Tepian, sebutan Samarinda, menuju Sangasanga, Kabupaten Kutai Katanegara, Kalimantan Timur.

Perjalanan hampir satu jam ke sebuah kecamatan yang berjarak sekitar 32 kilometer dari pusat kota provinsi itu terasa ringan berkat jalanan beton dan beraspal yang menggantikan jalur-jalur sulit yang mungkin pernah dilalui para pejuang hampir delapan dekade silam.

Advertisement

Memasuki gerbang Sangasanga, aura sejarah seolah menyambut. Di sini lah  berdiri Museum Perjuangan Merah Putih, sebuah tempat yang menyimpan memori kolektif tentang kepahlawanan yang pernah berkobar di area kaya minyak ini.

Museum ini bak narator hidup. Di dalamnya, diorama-diorama menggambarkan aksi para pejuang, sementara album-album foto dan benda usang menampilkan kisah penuh tekad. Salah satunya adalah album bendera Merah Putih lusuh hasil robekan dari bendera Belanda, sebuah pusaka yang menjadi inti dalam peristiwa Merah Putih Sangasanga.

BACA JUGA: Belasan Anggota Geng Remaja Solo Ditangkap Saat Tawuran

Di luar museum, tampak patung seorang pejuang mengacungkan senjata dengan tatapan tajam ke depan serta menggendong bendera merah putih, simbol perlawanan abadi. Di bawah kakinya, dinding tugu mengukir nama 73 pejuang yang gugur akibat kekejaman Belanda dalam peristiwa heroik itu.

Setiap nama yang tertera adalah memori tentang pengorbanan besar demi tegaknya sang saka. Ia adalah kenangan kolektif, memastikan kisah kepahlawanan mereka tidak akan pernah lekang oleh waktu.

Kisah perjuangan seperti yang tergambar di museum, berakar dari penderitaan panjang. Sejak Belanda dan kemudian Jepang menguasai ladang minyak, rakyat Sangasanga -- yang banyak di antaranya adalah pekerja paksa (romusha) yang didatangkan dari Jawa-- hidup dalam penindasan.

Juniar Purba dalam bukunya berjudul  Sejarah Perjuangan Merah Putih di Sangasanga mendeskripsikan perlakuan semena-mena penjajah yang menyulut lahirnya perlawanan. Awalnya melalui organisasi sosial rahasia Ksatria pada 1943 yang bertujuan mempererat persaudaraan.

Semangat itu menemukan momentum setelah proklamasi. Organisasi tersebut bertransformasi menjadi Badan Penolong Perantau Djawa (BPPD). Di bawah pengawasan Sekutu yang relatif longgar, BPPD berhasil mengibarkan Merah Putih untuk pertama kalinya pada 26 Oktober 1945.

Namun, ketenangan itu sirna saat Nederlandsch-Indische Civiele Administratie atau NICA (Belanda) mengambil alih kekuasaan. Mereka melarang semua kegiatan perjuangan dan menangkap para pemimpin BPPD pada 31 Desember 1945.

"Di antara tokoh yang ditahan adalah Soedirin, Kastaman Hadiwidjoyo, dan Soekasmo," tulis Juniar.

Penangkapan itu tak memadamkan api perjuangan. Para pejuang yang tersisa membentuk badan perjuangan bawah tanah yang lebih radikal, Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI), yang dipimpin oleh R Soekasmo. Dengan dukungan anggota KNIL yang pro-kemerdekaan, mereka merencanakan perebutan total kota Sangasanga.

Puncak dari perlawanan itu terjadi pada 27 Januari 1947. Setelah serangkaian pertemuan rahasia, salah satunya di gubuk milik Sastromihardjo, para pejuang BPRI melancarkan serangan mendadak ke tangsi militer Belanda. Dipimpin oleh Budiono, seorang mantan KNIL yang membelot, mereka berhasil merebut gudang senjata.

Keesokan paginya, bendera Merah Putih berkibar di jantung kota minyak. Sangasanga berada di bawah kendali penuh para pejuang Republik. Selama empat hari, dari 27 hingga 30 Januari 1947, rakyat merasakan euforia kemerdekaan.

Namun, Belanda tidak tinggal diam. Mereka mengerahkan kekuatan besar dari Balikpapan. Pertempuran sengit pun tak terhindarkan. Pada 30 Januari 1947, dalam sebuah pertempuran yang tidak seimbang, pasukan Belanda berhasil memukul mundur para pejuang dan merebut kembali Sangasanga. Banyak pahlawan gugur, dan sang komandan tempur, Budiono, akhirnya ditangkap dan dieksekusi mati pada 17 Maret 1947.

Dalam buku Historipedia Kalimantan Timur, Muhammad Sarip dan Nanda Puspita Sheilla mencatat Peristiwa Sangasanga sebagai aksi patriotisme besar dalam sejarah militer Indonesia.

Meskipun perjuangan merebut kota minyak itu hanya berlangsung tiga hari, peristiwa ini berhasil memaksa Belanda angkat kaki pada awal 1950 setelah kedaulatan RI diakui melalui Konferensi Meja Bundar.

Denyut darah Kalimantan

Sangasanga mungkin terdengar asing di telinga sebagian orang, tapi bagi masyarakat Kalimantan Timur, kawasan ini adalah sebuah legenda hidup. Kecamatan ini menyimpan lapisan-lapisan sejarah yang terkelupas seiring berjalannya waktu, dari era kerajaan kuno, masa keemasan industri minyak, hingga gejolak perjuangan kemerdekaan.

Hendraswati bersama Juniar Purba menguraikan dalam buku berjudul Sangasanga: Kota Bersejarah di Provinsi Kalimantan Timur bahwa jauh sebelum dikenal sebagai kota kaya minyak, nama Sangasanga telah disebut dalam Kitab Salasilah Kerajaan Kutai Kertanegara pada abad ke-13.

BACA JUGA: 3 Pedagang di Sewon Terusir Gegara Kios Dipakai Koperasi Merah Putih

Awalnya, Sangasanga hanyalah sebuah perkampungan nelayan tradisional yang dikenal dengan hasil ikan, kopra, dan rempah-rempahnya. Namun, berubah drastis ketika seorang insinyur Belanda, JH Menten, pada tahun 1888 menemukan potensi sumber daya energi di perut buminya.

Penemuan ini menjadi titik awal transformasi Sangasanga. Perusahaan Belanda, Nederlandsche Indische Industrie En Handle Maatschappij (NIIHM), mulai melakukan eksplorasi pada tahun 1897. Momen bersejarah terjadi pada 20 Februari 1897, ketika sumur Mathilde untuk pertama kalinya menyemburkan minyak.

Peristiwa itulah yang dianggap sebagai hari kelahiran Kota Sangasanga, mengubahnya dari desa nelayan menjadi kota industri ekstraktif yang berharga.

Di bawah pengelolaan De Bataafsche Petroleum Maatshappij (BPM) sejak 1907, Sangasanga berkembang pesat. Fasilitas modern pun mulai dibangun, mulai dari perumahan bergaya Eropa, pasar, sekolah, rumah sakit, hingga pembangkit listrik.

Sebanyak 613 sumur minyak pernah beroperasi di sini, menghasilkan hingga 70.000 ton minyak mentah setiap bulan. Denyut kehidupan kota ini menarik para pendatang dari berbagai penjuru, mulai dari Jawa, Bugis, Banjar, hingga Tiongkok dan India, yang datang untuk mengadu nasib di ladang-ladang minyak.

Jeruji di tepi sungai

Di tepi Sungai Sangasanga, berdiri sebuah bangunan tua yang menjadi saksi kelam perjalanan era. Dindingnya ulin kokoh dengan arsitektur yang khas menyimpan cerita kelam tentang penindasan, perjuangan, dan heroisme. Inilah Penjara Sangasanga, sebuah monumen sejarah yang dibangun di atas keringat dan darah para pekerja paksa pada masa kolonial Hindia Belanda.

Sejarahnya dimulai pada awal abad ke-20, ketika Sangasanga menjadi pusat industri minyak yang vital bagi pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan Bataafsche Petroleum Maatschappij.

Sebuah narasi yang divalidasi pemerintah setempat terpampang di muka bangunan tersebut bahwa pemerintah kolonial membutuhkan sebuah fasilitas penahanan dengan keamanan untuk mengamankan aset dan menekan para penentang. Maka, dimulailah proyek pembangunan penjara yang megah sekaligus mencekam.

Pembangunannya, yang diawasi oleh Burgerlijke Openbare Werken (BOW), bukan hanya melibatkan tenaga ahli Belanda, tetapi juga mengerahkan rakyat pribumi melalui sistem kerja paksa atau herendienst.

Ironisnya, para tahanan pertama yang ditangkap justru turut dipaksa membangun sel yang akan mengurung mereka. Dengan luas lahan mencapai 204.038 meter persegi, bangunan bergaya Europeeschen-Indische Stijl ini dirancang untuk menjadi benteng yang tak bisa ditembus.

Dindingnya tebal dan kuat, pintunya berlapis baja, dengan sistem ventilasi dan pencahayaan yang diperhitungkan matang untuk memastikan para narapidana--yang didatangkan dari Tarakan hingga Teluk Bayur di Padang--sepenuhnya terisolasi dari dunia luar.

Namun, fungsi penjara ini mencapai puncaknya yang paling dramatis saat Jepang menginvasi Kalimantan pada tahun 1942. Ketika pasukan Jepang merangsek masuk, para pejuang gerilya di bawah pimpinan Awang Pemuda mengambil keputusan heroik.

Mereka membumihanguskan instalasi-instalasi vital milik Belanda dalam peristiwa yang dikenang sebagai Sangasanga Lautan Api sebelum mundur ke pedalaman.

Dalam kekacauan itu, sekitar 200 orang pejuang dan warga sipil yang tertangkap dijebloskan ke dalam penjara ini. Mereka berjejal di dalam sel-sel pengap, menanti eksekusi di tangan tentara Jepang.

Namun, takdir berkata lain. Tepat di saat mereka akan dihabisi, hujan deras yang luar biasa turun mengguyur Sangasanga. Momen tersebut dimanfaatkan oleh para tahanan untuk sebuah pelarian massal yang nekat.

Meskipun sebagian berhasil ditangkap kembali dan menemui ajal di lokasi yang jauh, banyak di antara mereka yang selamat.

Kini, Penjara Sangasanga berdiri sebagai cagar budaya. Meskipun bangunan pendukung di sekitarnya telah beralih fungsi menjadi kantor dan fasilitas umum pasca-kemerdekaan, bangunan utama penjara tetap utuh.

Tugu pembantaian

Laporan mengenai jatuhnya Sangasanga ke tangan pengikut Soekarno dengan cepat sampai ke markas Belanda di Samarinda. Tanpa menunggu lama, Belanda mempersiapkan serangan balasan besar-besaran.

Salah satu kisah yang melegenda adalah keberanian seorang komandan pejuang bernama Badrun Munandar. Setelah ditangkap, ia disiksa dengan kejam oleh KNIL. Dengan wajah penuh luka dan darah, Badrun dipaksa untuk mengidentifikasi anggota pasukannya di antara kerumunan warga yang mengantre sembako.

Setiap orang yang ia tunjuk akan langsung dipopor senjata dan diseret ke atas truk untuk dieksekusi. Ini adalah pilihan yang luar biasa sulit, tapi menjadi salah satu taktik bertahan hidup dan pengorbanan yang terjadi di masa itu.

Kisah lain datang dari saksi hidup pembantaian dari perempuan berusia sepuh bernama Sri. Di usianya yang telah senja, ingatannya masih tajam merekam detik-detik saat pamannya, Njono, direnggut paksa dari kehangatan keluarga oleh serdadu Belanda. Kisahnya adalah sekelumit dari sekian banyak tragedi personal di balik peristiwa heroik Perjuangan Merah Putih Sangasanga pada 27 Januari 1947.

Kisah ini dituturkan Sri di dekat Tugu Pembantaian Sangasanga, sebuah monumen yang berdiri di lokasi yang ironisnya dulu hanyalah tempat pembuangan sampah. Sejarah mengubah tempat itu menjadi saksi bisu pembantaian para pejuang.

Hari itu, rumahnya tengah ramai. Suasana hangat dan penuh canda tawa, layaknya sebuah pertemuan keluarga biasa.

"Iya, itu dulu kan banyak orang di rumah. Kita sedang makan-makan, menggoreng singkong, minum teh," kenang Sri.

Kebersamaan itu pecah seketika. Sekelompok orang tak dikenal ---yang kemudian diyakini adalah serdadu Belanda atau antek-anteknya-- datang dan langsung menangkap pamannya.

Penangkapan itu berlangsung cepat dan brutal. Njono, yang tengah berkumpul dengan orang-orang terkasihnya, tak diberi kesempatan untuk melawan. Ia diikat dan dipaksa berjalan kaki menuju lokasi yang tak pernah ia duga akan menjadi akhir hayatnya.

"Iya, ditangkap langsung dari rumah. Tangannya diikat di belakang," tutur Sri.

Perjalanan paksa itu membentang sejauh hampir empat kilometer. Sebuah jarak yang terasa tak berujung bagi seorang tawanan yang diseret menuju kematian. Keluarga yang ditinggalkan hanya bisa menatap nanar, tak berdaya di bawah todongan senjata.

Ujung dari perjalanan menyakitkan itu adalah lokasi yang kini dikenal sebagai Tugu Pembantaian. Di sanalah Njono bersama para pejuang lainnya menghadapi regu tembak.

"Ujung-ujungnya, pakde ditembak," kata Sri lirih, mengonfirmasi takdir tragis Njono, nama yang kini terpatri sebagai salah satu dari 73 pejuang yang gugur dalam peristiwa Merah Putih Sangasanga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Demonstran di Eropa: Hentikan Geneosida di Gaza Palestina

Demonstran di Eropa: Hentikan Geneosida di Gaza Palestina

News
| Minggu, 10 Agustus 2025, 19:17 WIB

Advertisement

Pendakian Rinjani Dibuka Kembali 11 Agustus 2025

Pendakian Rinjani Dibuka Kembali 11 Agustus 2025

Wisata
| Minggu, 10 Agustus 2025, 15:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement