Advertisement

Suku Batak Jadi Penyumbang Sarjana Terbanyak di Indonesia

Sirojul Khafid
Senin, 10 Februari 2025 - 08:37 WIB
Sunartono
Suku Batak Jadi Penyumbang Sarjana Terbanyak di Indonesia Perguruan Tinggi - ilustrasi - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Suku Batak menyumbang lulusan sarjana terbanyak di Indonesia. Angkanya mencapai 18,02% dari total lulusan sarjana yang ada di Indonesia. Sementara Suku Jawa berada di urutan kedelapan dengan persentase 9,56% dan terakhir suku Madura 4,15%.

Hasil tersebut berdasarkan publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) terkait Profil Suku dan Keragaman Bahasa Daerah Long Form Sensus Penduduk 2020 yang rilis awal Februari 2025 ini. Dari sisi tingkat pendidikan, Suku Batak menyumbang lulusan sarjana terbanyak. Suku Batak mencakup Batak, Batak Tapanuli, Batak Angkola, Karo, Mandailing, Dairi, Batak Pakpak Dairi, Pakpak, Batak Simalungun, dan Batak Toba.

Advertisement

Persebarannya di Pulau Sumatra (87,98%), kemudian dilanjutkan dengan Pulau Jawa (10,02%), Pulau Kalimantan (1,25%), Pulau Maluku dan Papua (0,46%), Pulau Sulawesi (0,17%), serta Pulau Bali dan Nusa Tenggara (0,11%). Dalam hal pendidikan, menurut BPS, hampir setengah dari penduduk suku Batak berusia 25 tahun ke atas memiliki pendidikan tertinggi pada jenjang SMA/sederajat yaitu 45,48% dan sebanyak 18,02% telah tamat perguruan tinggi. Mereka yang tidak atau belum pernah sekolah, tamat SD/sederajat, dan tamat SMP/sederajat berturut-turut sebanyak 4,38%; 15,09%; dan 17,04%.

Urutan kedua suku dengan jumlah sarjana terbanyak yaitu Suku Minangkabau dengan persentase 18%. Sebagian besar penduduk suku Minangkabau tersebar di Pulau Sumatra. Sekitar sembilan dari sepuluh suku Minangkabau tinggal di Pulau Sumatra (92,23%), kemudian dilanjutkan dengan Pulau Jawa (7,07%), Pulau Kalimantan (0,37%), Pulau Maluku dan Papua (0,12%), Pulau Bali dan Nusa Tenggara (0,10%), dan Pulau Sulawesi (0,10%).

Suku selanjutnya yang menyumbang sarjana terbanyak di Indonesia secara berturut-turut dari posisi ketiga hingga kesepuluh yaitu, Suku Bali dengan 14,54%, Suku Bugis 14,54%, Suku Betawi 14,38%, Suku Melayu 12,67%, Suku Banjar 11,24%, Suku Jawa 9,56%, Suku Sunda 7,59%, dan Suku Madura 4,15%.

BACA JUGA : Animo Tinggi, Dishub Bantul Harap Operasional Bus Sekolah Tidak Terdampak Efisiensi Anggaran

Antropolog Agama dan Budaya dari Universitas Indonesia, Amanah Nurish, mengatakan data yang disajikan BPS ini menunjukkan adanya "ancaman serius" di masyarakat soal bagaimana memandang pendidikan tinggi. Pemerintah, menurutnya, sama sekali tidak membuat kebijakan yang mendorong rakyatnya meraih pendidikan tinggi.

Namun pemerintah justru memiskinkan secara struktural lewat pemberian bansos. "Lebih penting pendidikan gratis dibanding bansos atau makan gratis sebenarnya," katanya, belum lama ini.

Mencari Gambaran Suku di Indonesia

Laporan BPS Long Form Sensus Penduduk 2020 ini merupakan rangkaian kegiatan Sensus Penduduk yang dilakukan pada 2022. Laporan tersebut sempat tertunda dua tahun akibat pandemi Covid-19. Tujuannya untuk menggambarkan profil sosial demografi dari sepuluh suku di Indonesia.

Informasi yang hendak diperoleh di antaranya menyangkut kewarganegaraan; suku; agama; ketenagakerjaan; pendidikan; bahasa; disabilitas; tingkat kelahiran (fertilitas); angka kematian (mortalitas); dan perumahan. Untuk mengumpulkan keterangan yang dibutuhkan, Long Form Sensus Penduduk 2020 ini menggunakan kuesioner dengan pendekatan berupa pengakuan responden (self-identification).

Statistik Ahli Madya BPS, Dendi Handiyatmo, mengatakan metode wawancara langsung ini juga didukung dengan kesesuaian data dalam Kartu Keluarga. "Kartu Keluarga menjadi pegangan supaya lebih update ketika kami menanyakan langsung," katanya Rabu (29/01).

Pendataan Long Form Sensus Penduduk 2020 dilaksanakan di seluruh Indonesia (514 kabupaten/kota) dengan jumlah sampel sebesar 5% atau sekitar 4,29 juta rumah tangga. Pembagiannya rata-rata 10% di setiap provinsi. "Kecuali di Jawa [lebih besar] karena lebih banyak jumlah rumah tangganya," katanya.

Meski demikian, BPS memberikan catatan bahwa laporan tersebut tidak lepas dari kesalahan atau error. Kesalahan bisa terjadi karena sampling error dan nonsampling error. Sampling error terjadi lantaran hanya sebagian dari populasi yang diambil sebagai sampel, yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan karakteristik atau variabel yang ada dalam seluruh populasi. Selain itu, kesalahan juga dapat terjadi dari nonsampling error pada saat pengumpulan data, sebut BPS.

Prinsip Hidup Menentukan Tingginya Pendidikan

Tinggi jumlah sarjana suatu suku bisa terkait dengan prinsip yang warganya anut. Prediksi Suku Batak menjadi kelompok dengan sarjana paling banyak, diduga lantaran prinsip hidupnya. Orang Batak mengenal tiga istilah yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Masing-masing artinya adalah keturunan, kesejahteraan, dan kemuliaan.

Kepala Batakologi Universitas HKBP Nommensen Medan, Manguji Nababan, mengatakan puncak pencapaian yang dianggap keberhasilan oleh orang Batak adalah sahala dan kuaso, yakni wibawa dan kekuasaan. "Nah, untuk mendapatkan sahala dan kuaso, tidak ada jalan lain selain pendidikan," kata Manguji, Kamis (30/1/2025).

Orang Batak selalu berusaha agar hidupnya berwibawa, lanjut Manguji, sehingga dapat mendatangkan kekuasaan. Inilah yang dianggap sebagai puncak kesuksesan. Untuk memperolehnya, orang Batak percaya dengan prinsip hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Dalam Bahasa Indonesia, hagabeon bermakna keturunan atau anak. Artinya, orang Batak mesti menikah ketika sudah cukup syarat.

Setelah cita-cita pertama ini tercapai, maka orang Batak akan berpikir untuk mencapai hamoraon, yakni kesejahteraan atau kekayaan. Maksudnya, orang Batak akan terdorong untuk memperoleh pundi-pundi penghasilan yang besar. Tujuan hidup terakhir dalam prinsip orang Batak adalah hasangapon, yaitu kehormatan atau kemuliaan.

"Apabila dia sudah memiliki hagabeon kemudian hamoraon, maka dia bercita-cita mendapatkan hasangapon atau kemuliaan. Itulah hirarkinya. Itu semua akan didapatkan melalui jalur pendidikan," katanya.

Prinsip hidup hagabeon, hamoraon, dan hasangapon dalam komunitas Batak disampaikan oleh orang tua kepada anak-anaknya secara turun-temurun. Hal itu disampaikan dalam hari-hari besar keagamaan maupun kebudayaan sebagai pengingat mereka dalam menjalani hidup.

Manguji berpendapat bahwa keinginan kuat orang Batak mengenyam pendidikan tinggi sudah ada sejak zaman dulu. Sebelum adanya pendidikan formal, orang Batak sudah terbiasa menuntut ilmu dari Datu, yakni tokoh sentral dalam ritual magis masyarakat Batak yang berperan sebagai tabib atau orang pintar yang dihormati.

Pada masa itu, orang Batak juga belajar dari Raja Patik mengenai hukum, aturan, dan norma dalam bermasyarakat. Orang Batak lantas mulai mengenal pendidikan formal setelah masuknya zending untuk menyebarkan ajaran Kristen Protestan pada 1861. "Otomatis pengaruh pendidikan Barat itu sudah masuk," katanya.

Kala itu, lanjut Manguji, sudah dibuka sekolah formal seperti di Sipoholon, Tapanuli Utara. Orang Batak disiapkan untuk menjadi tenaga terampil agar bisa bekerja di perusahaan-perusahaan. "Sangat tinggi animo masyarakat Batak untuk mengenyam pendidikan saat itu. Karena memang mereka jadi bisa bermigrasi (merantau)," katanya.

Di samping prinsip hidup hagabeon, hamoraon, dan hasangapon, hasrat menggapai pendidikan tinggi di kalangan komunitas Batak juga tak lepas dari ajaran agama dan faktor lain. Orang Batak selalu berupaya agar anak-anaknya lebih sukses dari mereka. Filosofi ini dapat dilihat dari bentuk rumah adat Batak yang bagian atap belakangnya lebih tinggi dari bagian depan.

"Budaya kompetisi juga memengaruhi. Orang Batak suka berlomba-lomba, tapi bukan dalam konotasi negatif. Berkompetisi itu bukan berarti berlawan. Jadi ada kebanggaan kalau anak orang Batak itu pergi merantau," kata Manguji.

BACA JUGA : Anggaran Makan Bergizi untuk Benahi Infrastruktur Pendidikan, Begini Tanggapan Pemkab Gunungkidul

Prinsip hagabeon, hamoraon, dan hasangapon di kalangan orang Batak masih berlaku sampai saat ini. Hanya saja, sekarang terdapat pergeseran motivasi. "Kalau semangat itu tetap tinggi. Tapi sekarang motivasinya sudah ada tambahan. Jadi ada rasa malu kalau dalam keluarga Batak itu tidak ada yang sarjana, tidak sekolah. Jadi sudah lebih ke gengsi," katanya.

Alasan Rendahnya Sarjana di Suku Jawa

Suku Jawa berada di posisi kedelapan sebagai penyumbang sarjana terbanyak di Indonesia. Hasil ini bisa jadi dianggap mengagetkan, melihat banyak fasilitas yang sebenarnya tersedia di Pulau Jawa.

Antropolog Agama dan Budaya dari Universitas Indonesia, Amanah Nurish, mengatakan secara historis suku Jawa sebetulnya melek literatur sejak lama. Hal tersebut ditandai oleh keberadaan artefak-artefak kuno di masa kerajaan. Fondasi kuat itu pula, lanjut Nurish, yang turut melahirkan pemikir-pemikir penting di era kemerdekaan Indonesia termasuk pemimpin negara hingga saat ini.

Memasuki masa Orde Baru yang dipimpin Suharto, pembangunan hingga perekonomian terpusat di Pulau Jawa. Kondisi itu secara tidak langsung membuat orang-orang Jawa mendapatkan keistimewaan di banyak bidang daripada suku-suku lain. Namun Nurish melihat itu membuat masyarakat Suku Jawa menggeser kepeduliannya pada pendidikan.

"Dan karena dekat dengan kekuasaan, untuk menjadi pengusaha misalnya, apakah harus jadi sarjana? Enggak juga kan?" katanya. "Jadi faktor Jawasentris itu pada akhirnya membuat orang-orang Jawa sendiri males meng-upgrade pendidikan lebih tinggi dalam konteks formal. Tapi orang Batak, Minang, atau Bugis kalau tidak pintar bisa kerja apa?"

Nurish beranggapan ada faktor lain juga yang membuat orang Jawa memandang pendidikan tinggi secara berbeda, meskipun kampus-kampus terbaik berada di tanah Jawa. Kesadaran itu yaitu bahwa orang berpendidikan belum menjamin bakal sukses. Orang Jawa dianggap memiliki bahwa kesadaran pendidikan tinggi tidak menjamin orang menjadi lebih bermoral, bermartabat, sukses.

BACA JUGA : RUU Sisdiknas Diharapkan Mendesain Anggaran Pendidikan 20 Persen Lebih Efektif

"Di komunitas orang Jawa, orang yang tidak bermartabat, nggak ada harganya. Berbeda dengan suku-suku lain yang masih menganggap gelar sarjana itu sesuatu yang luar biasa," katanya.

Dari prinsip itu, masyarakat Suku Jawa dianggap lebh mengejar kesejahteraan ekonomi. Apalagi melihat biaya untuk menempuh jenjang pendidikan tinggi semakin mahal sekarang-sekarang ini. Belum lagi masalah kemiskinan.

"Orang disekolahkan sampai sarjana, habis ratusan juta terus hanya untuk bekerja jadi karyawan yang gajinya kecil, buat mereka ya usaha saja dibanding punya gelar. Ada unsur ketidakpercayaan terhadap pendidikan tinggi," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Komisi XI DPR RI Pastikan Pengetatan Anggaran Tak Ubah Besaran APBN

News
| Senin, 10 Februari 2025, 21:17 WIB

Advertisement

alt

Liburan ke Garut, Ini Lima Tempat Wisata Alam Tersembunyi yang Layak Dinikmati

Wisata
| Senin, 27 Januari 2025, 21:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement