Advertisement
Homo Erectus dari Dasar Laut, Penemuan Arkeologi Baru di Indonesia

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Temuan arkeologis di lepas pantai Jawa, Indonesia, memberikan wawasan tentang dunia Homo erectus, 140.000 tahun yang lalu. Fragmen tengkorak dan sisa-sisa fosil lainnya memberikan gambaran unik tentang bagaimana dan di mana manusia purba ini hidup.
Arkeolog Leiden, Harold Berghuis, bersama timnya, mengeksplorasi Selat Madura. Mereka menemukan sisa-sisa fosil 36 spesies vertebrata. Ini merupakan penemuan fosil pertama dari dasar laut di antara pulau-pulau di Indonesia.
Kawasan ini, yang disebut Sundaland, dulunya merupakan dataran rendah yang luas. Di antara temuan-temuan tersebut terdapat dua fragmen tengkorak Homo erectus. Kedua temuan ini memberikan gambaran unik tentang ekosistem prasejarah dan posisi Homo erectus dalam ekosistem tersebut.
Advertisement
Fosil Homo erectus sebelumnya telah ditemukan di pulau Jawa. Temuan yang paling terkenal adalah tengkorak dari situs-situs seperti Trinil, Sangiran, dan Ngandong. Hingga saat ini, para peneliti menduga bahwa Homo erectus telah lama hidup terisolasi di Jawa. Temuan baru ini menunjukkan bahwa Homo erectus Jawa menyebar ke dataran rendah di sekitar Sundaland selama periode dengan permukaan laut yang lebih rendah.
Spesies ini kemungkinan besar menyebar di sepanjang sungai-sungai besar. "Di sini mereka memiliki air, kerang, ikan, tanaman pangan, biji-bijian, dan buah sepanjang tahun," kata Berghuis, dikutip dari Phys.org, pertengahan Mei 2025 lalu.
"Kita sudah tahu bahwa Homo erectus mengumpulkan kerang sungai. Di antara temuan baru kami terdapat bekas sayatan pada tulang kura-kura air dan sejumlah besar tulang sapi yang patah, yang menunjukkan adanya perburuan dan konsumsi sumsum tulang."
BACA JUGA: Muncul Rojali dan Rohana, Wamendag Bantah Disebabkan Penurunan Daya Beli
Temuan baru menunjukkan bahwa Homo erectus Sundaland secara aktif memburu bovid yang sehat dan kuat. Berghuis tidak menemukan hal ini pada populasi Homo erectus awal di Jawa, tetapi kami mengetahuinya dari spesies manusia yang lebih modern di daratan Asia.
"Homo erectus mungkin telah meniru praktik ini dari populasi-populasi ini. Hal ini menunjukkan kemungkinan adanya kontak antara kelompok-kelompok hominin ini, atau bahkan pertukaran genetik," katanya.
Pandangan yang Lebih Luas Tentang Penelitian Arkeologi
Situs di Selat Madura telah dipelajari secara detail selama lima tahun terakhir. Arkeolog Leiden, Harold Berghuis, mengatakan seringkali hanya materi yang paling menarik yang dipublikasikan dalam jenis penelitian ini, seperti fosil hominin.
"Kami menyajikan hasil penelitian kami dalam empat artikel yang ekstensif dan kaya ilustrasi, menciptakan jendela unik ke Sundaland yang tenggelam 140.000 tahun yang lalu," kata Berghuis.
Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, bekerja sama dengan tim spesialis dari Indonesia, Australia, Jerman, dan Jepang. Artikel pertama diterbitkan minggu ini di jurnal Quaternary Environments and Humans. Koleksi fosil ini disimpan di Museum Geologi di Bandung, Indonesia. Museum ini berencana untuk mengadakan pameran, dan pameran sementara mungkin akan menyusul di lokasi lain.
Tentang Sundaland
Pada zaman prasejarah, apa yang kita kenal sebagai kepulauan Indonesia dulunya merupakan dataran rendah yang luas pada periode dengan permukaan laut yang lebih rendah, dengan pulau-pulau yang ada saat ini berupa pegunungan.
"Kami menyebut wilayah ini Sundalandia," kata Berghuis. "Homo erectus dapat menyebar dari daratan Asia hingga Jawa."
Sebagian besar Sundalandia kini merupakan laut dangkal, dan hingga kini, fosil belum pernah ditemukan di wilayah ini. Hal ini membuat Berghuis merasa penemuannya unik. Fosil-fosil ini berasal dari lembah sungai yang tenggelam, yang seiring waktu terisi pasir sungai.
Berghuis dan tim berhasil menentukan usia material tersebut sekitar 140.000 tahun yang lalu. Itu adalah periode glasial kedua terakhir. "Sebagian besar belahan bumi utara tertutup gletser, dan begitu banyak air di Bumi tersimpan di lapisan es sehingga permukaan laut global 100 meter lebih rendah daripada saat ini."
Pada saat itu, Sundalandia menyerupai sabana Afrika masa kini, berupa padang rumput yang cukup kering dengan jalur-jalur hutan sempit di sepanjang sungai-sungai utama. Terdapat pula fauna yang kaya termasuk berbagai spesies gajah, bovid, badak, dan buaya.
Sebagian besar spesies ini telah punah. Sementara yang lain merupakan nenek moyang spesies yang masih hidup di wilayah tersebut. Tetapi kelangsungan hidupnya sangat terancam. Kuda nil Asia telah punah. Komodo karnivora kini terbatas di Pulau Komodo dan Flores, dan hiu sungai sangat langka di sungai-sungai besar di India dan Thailand.
BACA JUGA: Terdampak Gelombang Tinggi, Destinasi Waterblow Nusa Dua Bali Ditutup
"Namun, semua hewan ini berkembang pesat di Sundalandia purba. Pengetahuan ini sangat penting bagi pemahaman kita tentang keanekaragaman hayati di seluruh Asia Tenggara," katanya.
Indonesia dan Misteri Arkeologi
Indonesia dianggap masih menyimpan banyak misteri dalam dunia arkeologi. Salah satunya juga Situs Megalitikum Gunung Padang di Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kementerian Kebudayaan melanjutkan penelitian dan pemugaran situs tersebut dengan melibatkan 10 ahli berbagai bidang dan 100 peneliti.
Arkeolog, Ali Akbar, sekaligus ketua tim pemugaran dan penelitian lanjutan menyebutkan 10 ahli tersebut terdiri dari berbagai bidang dan 100 peneliti yang terlibat merupakan peneliti dalam negeri bukan peneliti dari luar negeri atau asing.
"Kami melakukan komunikasi dan penjadwalan dengan Kementerian Kebudayaan terkait pelaksanaan pemugaran, termasuk membuat jadwal kegiatan dan penentuan nama ahli yang dilibatkan, sedangkan pelaksanaan dimulai awal Agustus," katanya, Senin (28/7/2025).
Dia menjelaskan lanjutan dari penelitian dan pemugaran yang dilakukan guna mengungkap misteri yang tersimpan dalam situs piramida punden berundak dengan fokus pilar batu tegak yang terlihat di permukaan tanah. Pilar tersebut diduga merupakan fondasi atau bagian dari sebuah struktur bangunan di dalam situs prasejarah yang pertama kali ditemukan seorang peneliti Belanda N J Krom pada tahun 1914.
"Pemugaran akan dilakukan selama tiga bulan di mana luas area yang diteliti bergantung pada hasil kajian awal seperti luas situs dan kemungkinan ada berapa lapisan budaya," katanya.
Dia menuturkan situs yang memiliki luas 291.800 meter itu merupakan bukti kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban masa lalu, di mana arsitektur dan tata letaknya penuh dengan perhitungan yang luar biasa. Hasil ekskavasi awal, kata dia, ditemukan di bawah bangunan yang saat ini nampak di permukaan, masih ada struktur bangunan lainnya, sehingga masih banyak misteri yang belum terungkap.
"Mulai dari diduga adanya ruangan di bawah struktur bangunan, usia struktur paling dasar, hingga hilangnya peradaban maju yang membuat situs. Kami berharap dengan dilanjutkannya penelitian dan pemugaran dapat mengungkap misteri di dalamnya," kata Ali.
Situs Gunung Padang merupakan peninggalan prasejarah yang disusun menggunakan batuan kekar tiang (columnar joints) yang tergolong langka, batu disusun sedemikian rupa sehingga membentuk tangga, dinding, kursi, teras, dan pilar-pilar. Penelitian tahap awal dilakukan untuk mengungkap fungsi pilar batu tegak yang jumlahnya sekitar empat pilar, di mana yang di permukaan usianya paling muda, dibangun pada tahun 500 Masehi.
Sedangkan empat meter di bawahnya ditemukan struktur bangunan berusia 500 sebelum Masehi, dan beberapa meter di bawahnya lagi ada struktur bangunan yang usianya sekitar 5.200 sebelum Masehi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

RI Siapkan Alternatif Penampungan Warga Gaza Butuh Perawatan Medis
Advertisement

Wisata Sejarah dan Budaya di Jogja, Kunjungi Jantung Tradisi Jawa
Advertisement
Berita Populer
- MAKI Nilai Kasus Penganiayaan Pengamat Penambangan Tak Bisa Dianggap Selesai dengan Berdamai
- Jadwal Bus DAMRI dari Jogja, Purworejo dan Kebumen Tujuan Bandara YIA, Kamis (7/8/2025)
- Polda DIY Nyatakan Semua Pihak Terkait Judol Akan Ditindak
- Jadwal KRL Solo Jogja yang Berangkat dari Stasiun Palur, Kamis 7 Agustus 2025
- Dinkes Jogja Klaim Leptospirosis Sudah Terkendali
Advertisement
Advertisement