Advertisement

Masalah Mental Bikin Banyak Guru di Jepang Ambil Cuti

Sirojul Khafid
Rabu, 28 Februari 2024 - 08:57 WIB
Sunartono
Masalah Mental Bikin Banyak Guru di Jepang Ambil Cuti Guru - Ilustrasi - Antar

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Jumlah guru yang mengambil cuti di Jepang karena penyakit mental mencapai rekor tertinggi. Pada 2022, guru yang cuti di sekolah negeri di Jepang mencapai 6.539 orang.

Berdasarkan survei dari Pemerintah Jepang, alasan guru cuti lantaran peningkatan beban kerja di sekolah sejak pandemi Covid-19. Angka tersebut meningkat 642 dari tahun sebelumnya. Peningkatan pada 2022 merupakan kenaikan tahunan yang kedua secara berturut-turut.

Advertisement

Jumlah guru yang cuti pada 2022 tersebut mencakup 0,71% dari seluruh guru di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas serta sekolah berkebutuhan khusus. Angka ini bisa juga diartikan 1 dari 140 guru di Jepang mengambil cuti karena masalah mental.

BACA JUGA : Daftar 23 Kampus Ditutup Paksa, Ada yang Dari Jogja

Tingginya guru yang cuti sudah terjadi selama beberapa tahun terakhir. Angkanya selalu di atas 5.000 orang. Namun jumlahnya melonjak lebih dari 1.300 dalam dua tahun sejak tahun 2020. Di samping cuti karena masalah mental, banyak juga pengajar yang mengambil cuti karena sakit atau melahirkan.

“Pakar pendidikan mengatakan peningkatan ini sebagian disebabkan oleh peningkatan beban kerja yang disebabkan oleh pandemi, seperti perlunya mengambil tindakan pencegahan infeksi. Namun mereka juga menyebutkan adanya tren peningkatan keluhan dari orang tua siswa,” tulis dalam laporan tersebut.

Banyaknya guru cuti, serta masalah dalam dunia pendidikan, membuat Jepang kekurangan guru. Generasi muda enggan memilih profesi guru karena dianggap memiliki beban kerja yang berat. Menyadari situasi ini sebagai tantangan serius, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi Jepang akan mendorong reformasi gaya kerja, termasuk mengurangi dokumen dan mengatasi jam kerja yang panjang.

Berdasarkan kelompok umur, jumlah terbesar guru yang mengambil cuti pada usia 30-an sebanyak 1.867 guru. Diikuti oleh 1.786 guru berusia 50-an tahun, 1.598 orang berusia 40-an tahun, dan 1.288 orang berusia 20-an tahun.

Sementara itu, jumlah guru yang dihukum atau ditegur karena kekerasan seksual mencapai 242 pada tahun 2022. Angka ini mempertahankan kasus guru yang berada di atas 200 selama 10 tahun berturut-turut. Dari semua guru yang berkasus, sebanyak 98% merupakan laki-laki.

Di antara mereka, 119 orang dihukum karena pelanggaran terhadap siswa. “Sebanyak 42 guru dilaporkan melakukan hubungan seksual dengan murid, diikuti oleh 32 orang yang dihukum karena penganiayaan dan 21 orang karena mengintip atau melakukan voyeurisme. Sekitar 30% kasus pelanggaran terjadi selama jam kerja termasuk waktu istirahat dan selama aktivitas klub,” tulisnya.

Jumlah guru yang dihukum karena menerapkan hukuman fisik dan masalah besar lainnya yang melibatkan guru di Jepang berjumlah 397 orang. Jumlah ini naik 54 dari tahun 2021.

 Banyak Sekolah Tutup

Di samping masalah guru yang cuti, Jepang juga berhadapan dengan banyaknya sekolah yang tutup. Musababnya, populasi masyarakat di Jepang juga menurun. Sehingga sedikit anak-anak yang kemudian masuk sekolah.

Penutupan sekolah lantaran angka kesenjangan kelahiran dan kematian yang tinggi. Penutupan sekolah di pedesaan Jepang meningkat setelah tingkat kelahiran di Jepang menurun drastis. Angka kelahiran Jepang bahkan pernah di bawah 800.000 pada Pada 2022. Ini termasuk rekor terendah. Dari data pemerintah, setiap tahun Jepang menutup 450 sekolah. Dari 2002 hingga 2020, bahkan tercatat hampir 9.000 sekolah tutup.

BACA JUGA : Nidji dan Guyon Waton Tutup Lustrum XV SMA De Britto

Penutupan sekolah semakin membuat daerah terpencil masuk dalam kondisi sepi. "Saya khawatir orang tak akan menganggap daerah ini sebagai tempat pindah untuk memulai keluarga jika tak ada sekolah menengah pertama," kata Masumi, salah satu wali murid SMP Yumoto, yang juga baru saja tutup.

Para ahli memperingatkan penutupan sekolah di pedesaan akan memperlebar kesenjangan. Menurut dosen sosiologi di Universitas Sagami Women, Touko Shirakawa, penutupan sekolah membuat daerah terpencil berada di bawah tekanan yang lebih besar. "Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan," kata Shirakawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Buruan Beli! Harga Tiket MotoGP Diskon 50 Persen

News
| Sabtu, 27 April 2024, 13:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement