Advertisement

Kekerasan di Sekolah hingga Pesantren Meningkat 100 Persen

Sirojul Khafid
Selasa, 31 Desember 2024 - 08:47 WIB
Sunartono
Kekerasan di Sekolah hingga Pesantren Meningkat 100 Persen Kampanye menolak kekerasan terhadap anak. - Antara/Didik Suhartono

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Kasus kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan dasar hingga menengah meningkat signifikan pada 2024.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat sebanyak 573 kasus kekerasan terjadi di lembaga pendidikan sepanjang 2024. Angka itu meningkat 100% dibanding 2023. Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengatakan pada tahun 2020 terdapat 91 kasus.

Advertisement

“Angka itu lalu naik menjadi 142 kasus di 2021, 194 kasus di 2022, 285 kasus di 2023, dan tahun 2024 terdapat 400 573 kasus," kata Ubaid, Jumat (27/12/2024).

Mayoritas kekerasan tersebut terjadi di Pulau Jawa. Provinsi Jawa Timur menjadi daerah dengan angka kekerasan paling banyak. Ubaid merinci sebanyak 81 kekerasan di lembaga pendidikan terjadi di Jawa Timur, diikuti Jawa Barat 56 kasus, Jawa Tengah 45 kasus, Banten 32 kasus, dan Jakarta 30 kasus.

BACA JUGA : Lindungi Anak dari Kekerasan, Pemkab Siapkan Skrining Psikologi Pelajar di Sleman

"Data menunjukkan, kasus kekerasan paling banyak terjadi di sekolah (sebanyak) 64%," katanya. "Sementara di lembaga pendidikan berbasis agama ditemukan 36% kasus kekerasan, dengan rincian di madrasah 16% dan pesantren 20%."

Di sisi lain, Ubaid mencatat pelaku kekerasan di lingkungan lembaga pendidikan didominasi oleh tenaga pendidik alias guru sebesar 43,9%. Selain guru, kekerasan yang pelakunya peserta didik sebanyak 13,6%, tenaga kependidikan 2,5%, dan lainnya 39,8%.

“Mereka yang termasuk lainnya ini adalah petugas keamanan sekolah, orang tua, senior, geng sekolah, masyarakat, dan lain-lain. Meski guru dalam kasus kekerasan di sekolah banyak menjadi pelaku, tapi tidak sedikit pula mereka yang menjadi korban," kata Ubaid.

Sebanyak 10,2% guru, lanjut Ubaid, menjadi korban dari kekerasan di lembaga pendidikan yang dilakukan murid, hingga orang tua. Kondisi ini menunjukkan pentingnya peran dinas-dinas yang selama ini dinilai kurang paham mengenai penanggulangan kekerasan.

Ubaid beranggapan meski Satuan Tugas (Satgas) dan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) sudah dibentuk, banyak diantaranya yang belum dilatih atau didampingi secara memadai. Akibatnya, meskipun sudah ada kebijakan, implementasi di lapangan seringkali terhambat. "Setelah di-SK-kan, masalah selesai begitu saja. Padahal, jika tidak ada political will yang kuat, masalah ini tidak akan pernah selesai," katanya.

Penting bagi seluruh pihak untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang berbagai bentuk kekerasan, seperti perundungan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kebijakan diskriminatif. Menurut Ubaid, hal ini diperlukan agar semua pihak, mulai dari satgas hingga orang tua, memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan.

Dengan melibatkan berbagai pihak, seperti komite sekolah dan organisasi siswa, Ubaid meyakini pengelolaan pendidikan bisa menjadi lebih terbuka dan inklusif. "Orang tua harus dilibatkan, begitu juga dengan masyarakat dan kepala sekolah. Ini bukan hanya urusan dinas pendidikan, tapi merupakan tugas bersama," katanya.

BACA JUGA : DP3AP2 DIY Klaim Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Menurun

Ubaid mengingatkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikelola secara partisipatif. Hal ini penting agar tidak hanya kepala sekolah yang bertanggung jawab penuh terhadap sekolah, tetapi juga melibatkan komite sekolah, orang tua, serta masyarakat sekitar. Ia menyarankan agar seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat, termasuk orang tua. Ia menekankan bahwa peran orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka sangat penting dan sudah diatur dalam Undang-Undang.

"Sekolah negeri adalah aset publik. Jadi, segala kebijakan yang diambil di sekolah harus melibatkan berbagai pihak, bukan hanya kepala sekolah dan dinas pendidikan," kata Ubaid.

Munculnya Kekerasan

Kekerasan pada anak atau murid seringkali berasal dari orang dewasa atau guru, yang harusnya menjadi pelindung mereka. Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Indria Laksmi Gamayanti, mengatakan kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja, sayangnya menurut penelitian banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut.

Gamayanti menyebutkan ada tiga macam bentuk kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan emosi, dan kekerasan seksual. Saat anak terjadi kekerasan fisik dan kekerasan seksual, pasti diikuti dengan kekerasan emosi atau psikis. Meski begitu, kekerasan yang paling banyak terjadi dan belum banyak disadari adalah kekerasan emosi.

Kekerasan emosi yaitu saat anak mendapatkan ujaran kemarahan, kebencian, penghinaan, dan bentuk kekerasan verbal lainnya. Pelaku kekerasan pada anak, seringkali orang yang harusnya menjadi pelindung, bisa guru atau orang tua. “Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” katanya.

Orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak umumnya adalah orang-orang yang tidak matang secara emosi. Bahkan mungkin saja orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan kekerasan. Padahal ketika seseorang mengalami kekerasan di masa kecil, maka ada potensi ia akan melakukan kekerasan yang lebih parah ketika beranjak dewasa.

“Bayangan masa lampau atau trauma masa kecil orang tua memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan serupa atau lebih terhadap anaknya,” kata Gamayanti.

Tidak hanya oleh orang dewasa, kekerasan juga dapat terjadi pada sesama anak. Bentuk kekerasan ini banyak ditemui dalam kasus-kasus perundungan pada lingkungan sekolah atau teman bermain. Menurut Gamayanti, penyebab anak melakukan tindakan kekerasan kepada sesamanya juga bisa disebabkan dari lingkungan dan pola asuh orang tua.

“Bisa jadi anak tersebut juga menerima kekerasan dari orang tua, atau kurangnya validasi sehingga cenderung mencari validasi pada sesamanya,” tambahnya.

Sementara dalam penelitian berjudul Bentuk, Penyebab, Dan Dampak Dari Tindak Kekerasan Guru Terhadap Siswa Dalam Interaksi Belajar Mengajar memperlihatkan bentuk dan penyebab guru melakukan kekerasan pada anak. Penelitian tersebut merupakan karya Tamsil Muis, Muhammad Syafiq, dan Siti Ina Savira dari Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Surabaya.

BACA JUGA : Jumlah Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak di Kulonprogo Masih Tinggi

Hasil survei menunjukkan bahwa bentuk kekerasan yang muncul di sekolah sampel berupa kekerasan verbal sebesar 32,6%; psikologis sebesar 46,1%; dan fisik sebesar 12,4%. Penyebab dari tindak kekerasan tersebut antara lain dipicu kesalahan siswa (29,2%), temperamen guru (2,2%), serta alasan yang tidak diketahui siswa (11,8%), dan lain-lain yang sebagian besar juga merujuk pada perilaku siswa (35,4%).

“Dampak dari tindakan tersebut antara lain perasaan minder (2,8%), marah (48,9%), sedih (5,1%), ingin balas dendam (0,6%), dan sakit hati (38,2%). Selain itu, diketahui bahwa 24,7% siswa yang melaporkan pernah mengalami tindak kekerasan dalam berbagai bentuk adalah laki-laki, sementara siswa perempuan sebesar 64,9%,” tulis dalam laporan tersebut.

Ruang Aman dan Nyaman di Sekolah

Membangun suasana yang aman dan nyaman di sekolah menjadi langkah pencegahan kekerasan di sekolah. Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema, mengatakan saat anak merasa aman dan nyaman di sekolah, maka setiap ada masalah bisa langsung dikomunikasikan. Anak akan terbuka dengan kondisinya, termasuk semisal ada indikasi kekerasan di sekolah.

Menurut Doni, hal yang paling berat bagi anak-anak adalah tekanan kelompok. Contohnya, jika anak terus-menerus diteror oleh teman sekelasnya, dan tidak berani melapor ke guru, masalah tersebut bisa mengakibatkan stres. Oleh karena itu, anak perlu diberikan ruang nyaman di sekolah maupun di rumah agar mereka mau berbagi keluh kesah yang dirasakan.

Orang tua pun diminta untuk tidak meremehkan keluhan yang disampaikan oleh anak, utamanya terkait keluhan di sekolah. "Kalau misalkan anak menyampaikan ketidaknyamanannya di sekolah kepada orang tua, itu harus ditindaklanjuti. Jangan dianggap remeh. Orang tua bisa dengan mudah melapor ke wali kelas," kata Doni, beberapa waktu lalu.

Praktik serupa juga untuk guru. Doni merasa guru perlu peka untuk memperhatikan perubahan yang aneh pada murid-muridnya. Sehingga jika ada hal yang tidak baik bisa langsung terlacak. "Seharusnya guru itu mengecek di setiap kelas. Bagaimana keadaannya? Apakah ada yang berkelahi atau musuhan? Itu kan salah satu strategi guru dalam melihat kondisi anak-anak," kata Doni.

Guru bekerja sama dengan orang tua di rumah untuk menggali lebih dalam terkait keluhan yang dimiliki oleh anak. "Mungkin anak tidak berani lapor ketika di sekolah, tapi anak bisa lapor ke orang tuanya di rumah," katanya.

Pendidikan Komprehensif

Perlu ada Pendidikan yang komprehensif untuk melindungi anak dari potensi kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Psikolog anak dan remaja, Gisella Tani Pratiwi, mengatakan pendidikan seksualitas komprehensif dapat mencakup beberapa topik, misalnya pengenalan perkembangan diri sesuai usia anak, yang di dalamnya dapat memuat tentang perubahan fisik dan psikologis masa remaja.

Topik lainnya terkait dengan pengenalan anatomi tubuh, pendidikan dapat dimulai dari mengenali bagian tubuh yang privat dan bagaimana cara melindunginya, cara merawat tubuh dan hak melindungi diri dari perlakuan orang lain yang menyentuh, menyakiti dan memperlihatkan bagian tubuh yang privat, termasuk kesetaraan gender.

BACA JUGA : Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Bersama Cegah Kekerasan Demi Cerahnya Masa Depan

Namun Gisella menekankan pendidikan seksual komprehensif tidak bisa menjamin anak aman dari tindakan atau kekerasan seksual apabila lingkungan sekitar tidak memberikan dukungan dan perlindungan pada anak. “Paparan pada seksualitas sejak usia dini atau remaja kepada anak tentu akan memengaruhi tumbuh kembangnya, jika tidak segera mendapat bimbingan yang diperlukan agar anak dan remaja lebih memahami mengenai perilaku seksual yang sehat,” kata Gisella.

Oleh sebab itu, ia menyarankan pada pemerintah untuk mulai mengintegrasikan pendidikan seksual komprehensif dalam pendidikan anak, sesuai dengan tingkat usianya dengan berkolaborasi bersama dengan para ahli kesetaraan gender atau psikolog. Edukasi yang sama juga perlu disebarkan pada orang tua dan masyarakat umum agar setiap pihak memahami bahwa perilaku proteksi dari orang dewasa, amat penting untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Erick: Merger Garuda dan Pelita Air Masuk Peta Jalan 6 Bulan

News
| Jum'at, 03 Januari 2025, 07:37 WIB

Advertisement

alt

Asyiknya Camping di Pantai, Ini 2 Pantai yang Jadi Lokasi Favorit Camping Saat Malam Tahun Baru di Gunungkidul

Wisata
| Kamis, 02 Januari 2025, 15:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement