Advertisement

Trauma yang Terus Tersisa Seusai Bencana

Sirojul Khafid
Senin, 13 Januari 2025 - 08:27 WIB
Sunartono
Trauma yang Terus Tersisa Seusai Bencana Simulasi penanggulangan bencana pada pengukuhan KSB Sumberejo, Kapanewon Tempel, Sleman, Kamis (29/8/2024). Antara - ist/Bagian Prokopim Setda Sleman\\r\\n\\r\\n

Advertisement

Harianjogjacom, JOGJA—Bencana tidak hanya terasa saat kejadiannya berlangsung. Nyatanya, masih banyak tersisa luka pasca bencana, yang berpengaruh pada rendahnya kesejahteraan psikologi.

Salah satu contoh masih besarnya dampak bencana bisa kita lihat di Aceh. Pada 20 tahun lalu, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, tsunami besar menewaskan sekitar 130.000 jiwa. Banyak orang yang kehilangan keluarga, saudara, teman, dan lainnya. Bagi yang berhasil selamat, rasa kehilangan, luka, hingga trauma masih tersisa hingga hari ini.

Advertisement

Dini Hari Santy dan kawan-kawan meneliti fenomena pemulihan pasca bencana di Aceh. Penelitian mereka terangkum dengan judul Identifikasi Kesehatan Mental Pada Masyarakat Penyintas Bencana Tsunami Aceh Paska 20 Tahun. Kita bisa melihat temuan penelitian yang rilis tahun 2024 tersebut di Jurnal Psikologi Insight 8(2).

“Hasil penelitian ini menjadi salah satu temuan yang sangat penting bagi berbagai pihak, karena mengungkap hasil yang cukup mengejutkan, dan mungkin bertentangan dengan ekspektasi yang diharapkan mengingat bencana tsunami Aceh telah terjadi 20 tahun yang lalu,” tulis dalam laporan.

Beberapa poin penting temuannya secara garis besar, yaitu di atas 73% penyintas tsunami Aceh, memiliki tingkat kesehatan mental yang rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak jangka panjang dari bencana tersebut masih terasa, dan belum sepenuhnya teratasi secara psikologis. Temuan lainnya bahwa penyintas tsunami Aceh juga menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah. Ini dapat mencakup aspek-aspek seperti penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi yang masih belum optimal.

“Adanya tingkat psychological distress (tekanan psikologis) yang rendah, hal ini menjadi cukup menarik, tingkat tekanan psikologis juga dilaporkan rendah,” tulisnya.

Temuan tersebut diasumsikan beberapa kemungkinan yang terjadi atau dialami oleh para penyintas. Pertama terkait kondisi adaptasi jangka panjang terhadap situasi pasca-bencana. Kedua terkait dengan mekanisme koping yang berkembang seiring waktu. Terakhir tentang kemungkinan desensitisasi terhadap stressor serta faktor budaya atau sosial yang memengaruhi ekspresi distress.

Menurut para peneliti, temuan ini bisa menjadi salah satu dasar, untuk mengkaji kembali tentang program pemulihan atau pendampingan psikologis terhadap pemulihan jangka panjang pasca-bencana dan efektivitas intervensi yang telah dilakukan selama dua dekade terakhir. “Temuan ini juga menyoroti kompleksitas kesehatan mental dalam konteks pasca-bencana, di mana rendahnya tingkat distress tidak selalu berkorelasi dengan kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis yang baik,” tulis dalam laporan.

Salah seorang korban selamat dari gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 2004, Dilla Darmayanti, masih trauma dengan bencana besar tersebut. “Ketika ada gempa bumi, traumanya masih terasa,” katanya.

Satu dekade setelah kejadian itu, ia bercerita bahwa saat gempa dan tsunami terjadi ia melihat ombak menghempaskan teman-teman sekolahnya. Saat itu Dilla masih berusia lima tahun. Menurut estimasi WHO kala itu, sekitar 20% sebuah populasi yang terkena bencana biasanya mengalami gangguan mental. Itu artinya, Dilla bukan satu-satunya orang Aceh yang mengalami trauma pasca bencana 14 tahun lalu.

Selain membangun kembali infrastruktur, perumahan, serta mata pencaharian dan bisnis, penyembuhan mental memang sangat penting bagi para korban bencana. Menurut Cat Wise dalam salah satu tulisannya di PBSO News Hour, hingga sebulan setelah tsunami di Aceh, bantuan-bantuan finansial asing bahkan diprioritaskan untuk penyembuhan mental para korban.

Look, Listen, and Clean

Dalam trauma healing, termasuk setelah bencana, masyarakat bisa menerapkan konsep Look, Listen, and Clean. Psikolog Klinis, Bianglala Andriadewi, mengatakan trauma healing merupakan salah satu bentuk pengobatan yang dapat membantu seseorang dalam mengatasi masalah emosional akibat peristiwa traumatis.

Tindakan yang biasanya dilakukan dalam mengatasi trauma adalah terapi. Ada tiga hal yang bisa dilakukan dalam pemulihan trauma pasca bencana, yaitu Look, Listen, and Clean. Konsep Look, Listen, and Clean merupakan bantuan pertama yang diberikan psikolog bagi korban bencana.

Dalam Look, psikolog biasanya melihat pola ekspresi wajah korban, apakah ada perbedaan yang signifikan dan juga lingkungan sekitarnya. Sementara Listen, psikolog mencoba untuk mendengarkan apa yang menjadi keluhan korban, keinginan, perasaan yang disampaikan korban saat kejadian bencana. "Harus mendengar apa yang korban rasakan dan psikolog harus menenangkan," katanya.

Lala mengatakan psikolog perlu tahu kebutuhan korban bencana. Jadi ada penanganan lebih lanjut yang bisa segera dilakukan, semisal dokter untuk luka medis dan lainnya. Sehingga Clean, psikolog bisa melihat kondisi korban bencana secara jernih dan menyeluruh.

Dalam Jurnal Pendidikan Sosial dan Humaniora berjudul ‘Trauma Healing pada Orang Dewasa: Optimalisasi dan Strategi’ oleh Leni Mariana Siregar, Masyan Lelis Manao, Nona Merjuna Sianipar Mahasiswa, dan Damayanti Nababan menjelaskan bahwa trauma healing bertujuan agar korban mampu memikirkan hal yang positif saat mengingat kejadian traumatis tersebut.

Adapun lama prosesnya bisa memakan waktu hingga sekitar tiga bulan. Trauma healing mengajarkan korban beberapa cara untuk menghilangkan stres dan menjadi lebih rileks. Trauma healing diperlukan untuk semua segmen usia, baik anak, dewasa, maupun tua.

Menurut penelitian tersebut, ada beberapa cara trauma healing bisa dilakukan pada korban bencana agar cepat pulih. Pertama Terapi Perilaku. Terapi perilaku adalah bentuk metode terapi yang paling generik, yakni terapi pemaparan (eksposur). Dalam terapi perilaku, seorang akan diarahkan dengan menghadapi ketakutannya secara bertahap. Seringkali terapi perilaku atau pemaparan ini membuat pembelajaran individu bahwa ketakutan atau emosi negatif tidaklah beralasan, yang dalam gilirannya memungkinkan rasa takut akan berkurang.

Cara kedua berupa Terapi Eksposur. Terapi ini dapat penyembuhan trauma yang sangat direkomendasikan untuk penderita PTSD. Proses trauma healing ini berfokus pada perubahan struktur ketakutan dalam pikiran. Ia melihat sesuatu yang mengingatkannya dan dalam situasi yang lebih mengakibatkan rasa takut secara berturut-turut. Eksposur ini dipasangkan menggunakan relaksasi.

Ketiga yaitu Terapi Perilaku Kognitif (CBT). Terapi perilaku kognitif (CBT) adalah metode pemulihan trauma yang didasarkan pada seorang individu harus memperbaiki dan mengubah pikiran yang salah. Metode ini memberi tanggapan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kepada mereka yang mengalami trauma. Elemen umum dari terapi trauma ini adalah mengajarkan cara bernapas dalam mengelola kecemasan dan stres, mengajarkan reaksi normal terhadap trauma, memberi terapi paparan, mengidentifikasi dan mengevaluasi bentuk pikiran negatif, salah, dan irasional.

Metode keempat berupa Terapi Trauma Psikodinamik. Tujuannya untuk mengetahui tahapan mana yang mempengaruhi trauma yang terjadi pada seseorang. Mengetahui hal ini, terapis dapat mengelola aspek peristiwa traumatis yang menimpa pasien dengan elemen umum. Bisa dilihat dampak trauma mempengaruhi kesadaran diri dan hubungan seseorang.

Belajar dari Rikuzentaka

Tidak hanya di Indonesia, masalah trauma pasca bencana juga terjadi di Jepang. Selepas bencana tsunami, masyarakat Rikuzentaka menjalani hidup dengan kondisi yang tidak kunjung pulih secara penuh.

Saat Gempa dan tsunami melanda Jepang pada 2011, Kota Rikuzentaka yang berada di Perfektur Iwate hampir sepenuhnya rata dengan tanah. Berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik, Rikuzentaka yang sebenarnya bisa mencegah ombak setinggi 3 hingga 4 meter. Namun tinggi ombak kala itu mencapai 13 meter. Lebih dari 80% rumah yang terdapat di kota tersebut hancur tak bersisa.

Menurut laporan The Globe and The Mail, sekitar 20% hingga 40% penduduk Rikuzentaka meninggal dunia. Setelah kejadian itu, sejumlah penduduk Rikuzentaka yang selamat tidak pernah benar-benar bisa pulih secara mental atau psikis.

Saat tsunami itu terjadi, Hatsuko Ishikawa kehilangan putranya. Beberapa saat sebelum gelombang menerjang, putranya yang bekerja sebagai pemadam kebakaran ingin mengevakuasi orang yang berada di dekat laut. Namun, putranya justru ikut tersapu tsunami dan tidak pernah kembali. Ishikawa lalu mengutuk dirinya sendiri karena membiarkan putranya pergi.

Dampak kejadian itu, pikiran Isihakawa sering kali kosong, tekanan darahnya naik, dan dia akan berakhir di rumah sakit. Namun, saat dokter menyarankan agar dia pergi ke spesialis, ia selalu menolak. “Tidak ada orang asing yang mengerti apa yang ada di dalam hatiku. Aku harus menanggungnya sendirian,” kata Ushikawa.

Hal yang dialami oleh Isihikawa merupakan salah satu dampak dari ketidakseriusan Jepang dalam mengatasi kesehatan mental para korban tsunami. Tiga pekan setelah bencana, pemerintah Jepang memang bergerak cepat dalam membangun kembali rumah-rumah penduduk di Rikuzentaka. Saat itu mereka juga memastikan bahwa para korban yang selamat tidak kekurangan asupan makanan. Namun, terkait kesehatan mental, mereka bergerak lambat.

Menurut laporan Reuters, pemerintah Jepang menyediakan sebuah klinik yang bisa digunakan korban tsunami untuk melakukan konsultasi psikologis di pusat evakuasi Rikuzentaka. Namun klinik tersebut ternyata tidak pernah ada orang. Salah seorang pengungsi yang istri dan anaknya menjadi korban keganasan tsunami, Yukio Kudo, beberapa kali kecewa saat mendatangi klinik tersebut.

“Ketika saya mengetuk pintu ruang konseling psikologis, saya tidak pernah menemukan orang di sana,” kata Yukio.

Akibat masalah tersebut, pada 2014 atau berselang tiga tahun dari bencana, sebanyak 5.000 korban tsunami atau seperempat dari penduduk Kota Rikuzentaka, kemudian memilih tetap tinggal di pengungsian. Sebagian besar dari mereka memilih menderita sendirian daripada harus ‘memulai kehidupan baru’. Ushikawa adalah salah satu korban yang memilih tetap tinggal di pengungsian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Hakim Konstitusi Anwar Usman Kembali Bersidang, Penanganan Sengketa Pilkada 2024 Belanjut di MK

News
| Senin, 13 Januari 2025, 11:47 WIB

Advertisement

alt

Asyiknya Camping di Pantai, Ini 2 Pantai yang Jadi Lokasi Favorit Camping Saat Malam Tahun Baru di Gunungkidul

Wisata
| Kamis, 02 Januari 2025, 15:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement