Advertisement

Promo November

Cegah Bunuh Dini, Peran Media Perlu Dioptimalkan

Media Digital
Kamis, 19 September 2024 - 17:47 WIB
Abdul Hamied Razak
Cegah Bunuh Dini, Peran Media Perlu Dioptimalkan Kegiatan Daring Webinar Rsj Grhasia Dalam Rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, Kamis (19/9 - 2024) dengan narasumber mulai Psikiater RSJ Ghrasia dr Wikan Ardiningrum (kiri), Dosen Prodi Ilkom UAD Eka Anisa Sari (bawah), Kepala Desk Humaniora Harian Kompas Evy Rachmawati (kanan) dan dimoderatori oleh Dianingtyas Agustin.

Advertisement

SLEMAN—Kasus bunuh diri yang masih terus terjadi menjadi perhatian banyak pihak. Peran media diharapan menjadi salah satu strategi untuk menekan kasus bunuh diri.

Wakil Direktur Pelayanan RSJ Grhasia, dr. Tri Sunu Handayani mengatakan bunuh diri menjadi kasus yang akhir-akhir ini muncul di media massa. Banyak hal yang menyebabkan orang melakukan percobaan bunuh diri atau sampai bisa bunuh diri.

Advertisement

"Bunuh diri merupakan puncak permasalahan dari kesehatan mental yang belum teratasi dengan optimal," katanya saat membuka kegiatan Daring Webinar Rsj Grhasia Dalam Rangka Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, Kamis (19/9/2024).

Dia mengatakan, sebelum melakukan bunuh dini pastinya orang tersebut mengalami beberapa fase kehidupannya yang terasa berat. Mulai dari mengisolasi diri sendiri, menarik dari pergaulan sampai dengan depresi hingga memutuskan bunuh diri.

"Sayangnya di masyarakat hal-hal seperti ini tidak mudah dikenali atau ditangkap gejalanya. Lingkungan sekitar tidak bisa memberikan respons yang tepat ke arah resiko bunuh diri ini," ujarnya.

Dia berharap webinar tersebut dapat menambah wawasan kepada semua pihak bagainana awareness mengenai upaya bunuh diri di masyarakat. "Bagaimana pemberitaan terkait bunuh diri disampaikan sehingga tidak menimbulkan dampak yang membuat orang ingin melakukan bunuh diri," katanya.

Tri juga menyoroti adanya fenomena atau perilaku anak-anak muda yang melakukan self harm atau menyakiti diri sendiri. Mirisnya, aksi tersebut dipublikasi secara bebas di media sosial. Dia berharap peran media massa untuk bisa mengkonter dampak buruk yang bisa mengakibatkan generasi muda lainnya meniru usaha-usaha ke arah menyakiti diri sendiri atau bahkan bunuh diri.

"Media berperan mengkonter itu dan mengedukasi masyarakat gejala-gejala awal ke arah bunuh diri. Termasuk menangani orang dengan resiko bunuh diri," harapnya.

Webinar tersebut menghadirkan tiga narasumber mulai Psikiater RSJ Ghrasia dr Wikan Ardiningrum, Dosen Prodi Ilkom UAD Eka Anisa Sari, Kepala Desk Humaniora Harian Kompas Evy Rachmawati dan dimoderatori oleh Dianingtyas Agustin.

Wikan menjelaskan, kasus bunuh diri secara global tercatat lebih dari 720.000 per tahun. Bunuh diri bahkan oleh WHO menjadi penyebab kematian terbesar ke-3 untuk usia 15-29 tahun. Di Indonesia, katanya, hingga September 2024 tercatat 849 kasus bunuh diri atau rata-rata 4 kasus perhari.

"Terbanyak kasus bunuh diri pada Februari 2024 (127 kasus). Motif terbanyak alasan ekonomi dan lokasi terbanyak perumahan atau pemukiman. Adapun usia terbanyak bunuh diri 25-46 tahun. Usia 17 tahun lebih banyak daripada usia 17-25 tahun. Latar belakang pendidikan terbanyak lulusan SMA/sederajat," paparnya.

Dia menjelaskan bahwa penyebab bunuh diri tidak bisa disebut hanya ada satu faktor saja. Pasalnya banyak faktor yang memengaruhi orang bunuh diri. Misalnya faktor risiko (Multifaktor) seperti gangguan mental (6-8% melakukan bunuh diri) Depresi berat, Bipolar, Skizofrenia, Gangguan pengendalian impuls, penyalahgunaan zat, PTSD, Gangguan Kesehatan ambang.

Faktor lainnya adalah sosial mulai dari masalah ekonomi, mengalami kekerasan fisik dan seksual, merasa menjadi beban, isolasi sosial, konflik interpersonal, bullying hingga pemberitaan bunuh diri oleh media.

Kemudian ada faktor neurobiologi di mana berdasarkan studi, anak kembar faktor keturunan berperan 50% percobaan bunuh diri. Terakhir ada faktor psikologis di mana orang bunuh diri ingin melarikan diri dari rasa sakit yang tidak tertahankan. "Ada rasa putus asa dan ketidak mampuan memecahkan masalah sehingga memilih bunuh diri," katanya.

Adapun copycat suicide atau bunuh diri tiruan, terang Wikan merupakan peristiwa bunuh diri yang meniru kasus bunuh diri sebelumnya. Suicide contagion atau bunuh diri yang menular ini popular sejak Novel 'The Sorrows of Young Werther' (by Goethe, 1774) sehingga disebut juga Werther Effect.

Berdasarkan hasil penelitian secara global kasus bunuh diri mengalami kenaikan 30% ketika metode bunuh diri disampaikan di media. Tidak hanya itu, kasus bunuh dini naik sekitar 13% setelah pemberitaan bunuh diri selebriti. Dan, kasus bunuh diri naik 18% setelah pemberitaan bunuh diri fiktif.

"Kejadian copycat suicide di Taiwan (naik 43 persen), Hongkong (29 persen), Cina (25 persen) pada minggu ke-1,2,3 setelah pemberitaan bunuh diri selebriti," ujarnya.

Peran Media

Sementara Evy menyoroti peran media dalam memberitakan kasus bunuh diri dan mencegah orang melakukan copycat suicide. Menurutnya, media berperan memengaruhi persepsi masyarakat terkait bunuh diri. Narasi berita yang disampaikan bisa menjadi alat advokasi, tetapi juga bisa berdampak negatif.

"Pemberitaan bunuh diri di media berpotensi menyebabkan individu melakukan copycat suicide merupakan tindakan bunuh diri yang dilatarbelakangi ingin meniru kasus bunuh diri sebelumnya," paparnya.

Dia menyoroti berbagai pemberitaan pers yang memperlihatkan kasus bunuh diri kerap diperlakukan seperti peristiwa kriminal. "Banyak wartawan kurang memiliki sensitivitas dalam melaporkan maupun upaya percobaan bunuh diri," katanya.

Tidak hanya itu, identitas korban, alamat, tempat tinggal, dan keluarganya diungkap secara gamblang, termasuk modus, peralatan maupun cairan yang digunakan. "Pemberitaan seperti ini berpotensi mengundang aksi peniruan," tandasnya.

Evy menyontohkan hasil dari analisis isi pemberitaan media pers terhadap kasus bunuh diri khususnya di Yogyakarta pada 15 jurnal disebutkan, bahwa media memiliki pengaruh terhadap peningkatan kasus bunuh diri melalui efek pemberitaan.

"Kasus bunuh diri diliput dengan menampilkan detail spesifik seperti kondisi pelaku bunuh diri dan bagaimana cara ia mengakhiri hidupnya. Itu tidak sesuai dengan pedoman pemberitaan baik di UU No.40/1999, UU No.32/2002 dan Peraturan Dewan Pers Nomor 2 Tahun 2019 tentang pedoman pemberitaan terkait tindakan dan upaya bunuh diri," ujarnya.

Dia berharap wartawan mempertimbangkan manfaat pemberitaan bunuh diri. Kalau pun menulis, berita harus diarahkan kepada masalah yang dihadapi orang yang bunuh diri sebagai korban, bukan mengeksploitasinya sebagai berita sensasional.

"Pemberitaan bunuh diri sebaiknya diposisikan sebagai isu kesehatan jiwa dan bukan isu kriminalitas, karena kasus bunuh diri bukan disebabkan faktor tunggal," tandasnya.

Evy juga menyoroti disrupsi digital membuat tsunami informasi di media sosial. Media massa tidak lagi menjadi otoritas satu-satunya yang menyampaikan informasi kepada masyarakat. Setiap orang bisa memproduksi konten. Selain meningkatkan edukasi isu kesehatan mental, media sosial melahirkan hoaks dan pemahaman yang salah mengenai gangguan kesehatan mental karena rendahnya literasi.

"Media massa berfungsi melaksanakan verifikasi fakta dan menyampaikan informasi dari sumber yang kredibel. Di sini peran media massa untuk menyuarakan isu kesehatan jiwa dan pentingnya upaya pencegahan bunuh diri. Media massa membutuhkan akses informasi yang akurat sehingga komunitas yang bergerak dalam masalah kesehatan jiwa perlu lebih pro aktif menyuarakan aspirasi," usulnya.

Hal senada disampaikan Eka. Copycat suicide merupakan tindakan bunuh diri yang terinspirasi oleh kasus bunuh diri orang lain. Dampaknya masyarakat menjadi lebih terbiasa dengan konsep bunuh diri. "Biasanya ini terjadi setelah pemberitaan yang intens di media. Bagaimana berita dan media sosial dapat memicu tindakan serupa (bunuh diri)," ujarnya.

Ketika media menyajikan informasi yang terlalu rinci mengenai cara bunuh diri, lanjut Eka, termasuk metode dan lokasi, ini dapat menciptakan "manual" yang tidak diinginkan bagi individu yang berisiko. Untuk itu, dia mendorong agar media mempertimbangkan kembali kontennya.

"Misalnya menautkan ke informasi kesehatan mental dengan sumber yang dapat dipercaya. Mengangkat kisah positif terkait kesehatan mental. Tidak boleh memposting ulang hal yang memicu atau mengarah hal mengenai bunuh diri," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Perang Ukraina Vs Rusia, AS Bakal Hapus Utang Ukraina US$4,65 Miliar

News
| Kamis, 21 November 2024, 12:57 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement